Secarademografis sumber pertumbuhan penduduk perkotaan adalah pertambahan penduduk alamiah, yaitu jumlah orang yang lahir dikurangi jumlah yang meninggal; migrasi penduduk khususnya dari wilayah perdesaan (rural) ke wilayah perkotaan (urban); serta reklasifikasi, yaitu perubahan status suatu desa (lokalitas), dari lokalitas rural Mahasiswa/Alumni Universitas Negeri Yogyakarta29 November 2021 1721Halo, Fairuz H. Kakak bantu jawab ya. Jawaban dari soal di atas adalah B. Berikut penjelasannya. Teks berita adalah teks yang menginformasikan suatu peristiwa/objek tertentu yang berdasarkan fakta, kebaruan aktualitas, dan dapat dipercaya. Unsur-unsur teks berita ialah ADIKSIMBA apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana. Teks di atas dimulai dengan unsur 'apa' karena menginformasikan peristiwa yang diberitakan. Hal ini ditunjukkan oleh kalimat "Pertambahan penduduk dan perkembangan industri di wilayah perkotaan memengaruhi permintaan lahan yang kian meningkat." Kalimat tersebut berisi pokok pembahasan berita di atas. Oleh karena itu, penyajian teks berita tersebut adalah diawali unsur 'apa'. Semoga membantu
Selainpembakaran hutan yang cenderung terjadi di daerah rural. Pembangunan dengan metode konvensional juga memiliki dampak buruk di daerah perkotaan (urban). Hal ini terjadi akibat pertambahan penduduk perkotaan perkotaan serta pesatnya perkembangan aktifitas manusia seperti pembangunan pabrik-pabrik industri dan kegiatan transportasi.
Persentase Penduduk Daerah Perkotaan Indonesia 2010-2035 A Font Kecil A Font Sedang A Font Besar Badan Pusat Statistik BPS memperkirakan, sebanyak 56,7% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan pada 2020. Persentase tersebut diprediksi terus meningkat menjadi 66,6% pada 2035. Sejalan dengan itu, Bank Dunia juga memperkirakan sebanyak 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045. Jumlah itu setara dengan 70% dari total populasi di tanah air. DKI Jakarta menjadi kota yang paling banyak didatangi oleh penduduk dari daerah-daerah lain. Bukan hanya kedatangan orang yang berdomisili tetap dan mencari pekerjaan, Jakarta juga didatangi oleh para komuter. Berdasarkan data BPS pada 2019, 1,25 juta komuter dari wilayah Bodetabek memiliki kegiatan utama di Jakarta. Urbanisasi ke kota-kota besar seperti Jakarta akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Kendati, ada dampak buruk yang ditimbulkan urbanisasi, seperti kemacetan, wilayah kumuh, meningkatnya kriminalitas, polusi, dan sebagainya. Urbanisasi juga berdampak pada daerah yang ditinggalkan. Daerah yang ditinggalkan akan mengalami pertumbuhan ekonomi lebih lambat karena sebagian besar penduduk usia produktifnya tinggal di kota besar. Sebagai informasi, Persatuan Bangsa-Bangsa PBB mencatat bahwa lebih dari separuh populasi dunia tinggal di kota pada saat ini. Angkanya pun diperkirakan terus meningkat hingga tiga miliar pada 2050. Baca Jabodetabek, Wilayah Urban dengan Populasi Terbesar Kedua di Dunia Kecepatanperkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage lebih tinggi terjadi setelah pemekaran kota. Rata-rata perkembangannya setelah pemekaran kota sebesar 212.003,7 m2/tahun dan sebelum pemekaran kota 17.369 m2/tahun.. Pola perkembangan luas area perumahan di wilayah Gedebage menunjukkan pola yang tidak jelas, bahkan mendekati pola Iyzah R05 Desember 2022 1007Kembangkan minat literasi, hadirilah pemeran buku " Beraksi".! • koleksi buku berbagai penerbit • seminar literasi • bedah buku • pembacaan puisi 1 - 7 Mei 2017 dihalaman perpustakaan umum kota Medan jl. Iskandar Muda no. 270,petisah tengah, medan petisah, moderen. 5. Pernyataan yg sesuai dengan iklan tersebut adalah? Peningkatanjumlah penduduk perkotaan ini antara lain disebabkan karena semakin banyaknya penduduk dari daerah perdesaan yang menjadi penduduk kota. Berdasarkan perkiraan pada tahun 2025 jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan akan mencapai 60%. Sebaliknya jumlah penduduk di perdesaan semakin menurun.

Indonesia telah mengalami proses urbanisasi cepat dengan memiliki perbedaan karakter di setiap wilayahnya. Perbedaan tersebut juga tampak pada jenis dan sebaran kota-kota yang tumbuh dan berkembang di wilayahnya. Artikel ini ditujukan untuk menganalisis perbedaan proses urbanisasi yang terjadi antar wilayah di Indonesia, melalui pemahaman terhadap perbedaan pertumbuhan kota-kota yang ada di setiap kawasan makro di Indonesia. Metoda analisis yang digunakan adalah metoda deskriptif, dengan menggunakan data statistik kependudukan hasil Sensus Penduduk tahun 2000 dan Survey Penduduk Antar-Sensus SUPAS tahun 2015, yang dijelaskan dengan mempertimbangkan karakter dan sejarah pembangunan wilayahnya, serta peran-peran yang dimiliki oleh kota-kota yang tumbuh dan berkembang. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proses urbanisasi di Indonesia masih sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya di bagian barat, dimana besarnya konsentrasi urbanisasi dan pertumbuhan kota-kotanya mendorong kebutuhan untuk memperluas proses urbanisasi dan pertumbuhan kota-kota Indonesia ke kawasan-kawasan lainnya, termasuk ke Kawasan Pulau-pulau lain yang relatif masih kecil tingkat urbanisasi dan pertumbuhan kota-kotanya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free .OPEN ACCESS. URBANISASI DAN PERTUMBUHAN KOTA-KOTA DI INDONESIA SUATU PERBANDINGAN ANTAR-KAWASAN MAKRO INDONESIA Fadjar Hari Mardiansjah1, Paramita Rahayu2 1Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang Indonesia 2Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Sebelas Maret Kota Surakarta, Indonesia Jurnal Pengembangan Kota 2019 Volume 7 No. 1 91–110 Tersedia online di DOI Indonesia telah mengalami proses urbanisasi cepat dengan memiliki perbedaan karakter di setiap wilayahnya. Perbedaan tersebut juga tampak pada jenis dan sebaran kota-kota yang tumbuh dan berkembang di wilayahnya. Artikel ini ditujukan untuk menganalisis perbedaan proses urbanisasi yang terjadi antar wilayah di Indonesia, melalui pemahaman terhadap perbedaan pertumbuhan kota-kota yang ada di setiap kawasan makro di Indonesia. Metoda analisis yang digunakan adalah metoda deskriptif, dengan menggunakan data statistik kependudukan hasil Sensus Penduduk tahun 2000 dan Survey Penduduk Antar-Sensus SUPAS tahun 2015, yang dijelaskan dengan mempertimbangkan karakter dan sejarah pembangunan wilayahnya, serta peran-peran yang dimiliki oleh kota-kota yang tumbuh dan berkembang. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proses urbanisasi di Indonesia masih sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya di bagian barat, dimana besarnya konsentrasi urbanisasi dan pertumbuhan kota-kotanya mendorong kebutuhan untuk memperluas proses urbanisasi dan pertumbuhan kota-kota Indonesia ke kawasan-ka0wasan lainnya, termasuk ke Kawasan Pulau-pulau lain yang relatif masih kecil tingkat urbanisasi dan pertumbuhan kota-kotanya. [Title Urbanization and Developmrnt of Cities in Indoonesia An Inter-macro-regions Comparison] Indonesia has experienced rapid urbanization with different characters in every region. The difference are also shown by the type and distribution of cities developed in every region. This article aims to analyze the differences of urbanization process among regions in Indonesia, by elaborating comprehension on the difference of cities developed in every macro region. The research uses descriptive methods, by employing population data resulted from 2000 national census and 2015 Intercensal Population Survey, which are explained by considering history and characters of the regions, and the roles possesed by the cities in the regions. The results of the study show that urbanization process in Indonesia is still highly concentrated in Java Island, especially in the western part. The high concentration of urbanization and urban development process push a need for Indonesia to widen its urbanization and development of its cities to other regions, including to the outside Java and Sumatera that still have relatively limited level in urbanization process as well as in development of their cities. Keyword Indonesia; penduduk kota; perbandingan antar-wilayah; perbandingan kota-kota; urbanisasi. Cara Mengutip Mardiansjah, FH., Rahayu, P 2019. Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota-kota di Indonesia Suatu Perbandingan Antar-Kawasan Makro Indonesia. Jurnal Pengembangan Kota. Vol 7 1 91-110. DOI 1. PENDAHULUAN Dalam konteks makro, urbanisasi dipahami sebagai suatu proses beragam dengan melibatkan banyak proses perubahan yang saling berkaitan, termasuk proses pertumbuhan dan perkembangan demografi, ekonomi, teknologi, sosial, politik, budaya, dan lingkungan Knox dan McCarthy, 2014. Dalam konteks sempit, urbanisasi juga dapat dipahami sebagai suatu proses peningkatan jumlah penduduk perkotaan yang disertai dengan peningkatan konsentrasi penduduk dan aktivitas-aktivitasnya pada kawasan-kawasan perkotaan, sehingga kepadatan dan intensitas kawasan tersebut lebih tinggi daripada kawasan-kawasan lain di sekitarnya Sato & Yamamoto, 2005. Kota merupakan suatu simpul yang sangat penting bagi sistem perkotaan maupun ekonomi wilayah karena kota merupakan tempat terkonsentrasinya ISSN 2337-7062 © 2019 This is an open access article under the CC-BY-NC-ND license – lihat halaman depan © 2019 *Korespondensi penulis fadjar_mardiansjah Diterima 2 Mei 2019, disetujui 21 Juni 2019 2 F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 aktivitas-aktivitas ekonomi yang berlangsung Soo, 2005. Kota tidak hanya memiliki potensi untuk meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan secara internal di dalam wilayahnya, tetapi juga memiliki beragam potensi untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan ke luar batas wilayahnya, baik secara melebar ke wilayah sekitarnya maupun secara melompat ke tempat-tempat atau kota-kota lainnya Fan, 2013. Pengaruh pertumbuhan perkotaan dan aktivitas-aktivitasnya meningkatkan efek distribusi manfaat ekonomi melalui dua tipe perkembangan utama, yaitu secara intensive margin atau pertumbuhan internal dan extensive margin atau perkembangan eksternal Cordoba, 2008; Eaton and Eckstein, 1997. Dalam konteks ini, studi dan penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di dalam suatu wilayah merupakan salah satu fokus penting di dalam kajian untuk memahami proses urbanisasi dan perkembangan sistem perkotaan di dalam suatu wilayah Baldwin dan Martin, 2003; juga lihat Cohen, 2006; Cordoba, 2008; Fan, 2013; Fang, Pang, dan Liu, 2017. Sejak di masa awal kemerdekaannya, Indonesia mengalami proses urbanisasi dan pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat. Urbanisasi dan pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut meningkat terutama sejak tahun 1970an, ketika Indonesia memulai program pembangunan nasionalnya secara lebih terstruktur. Indonesia tercatat baru memiliki 15,5 juta penduduk perkotaan 15,9% dari 97,09 juta penduduk total menurut hasil Sensus Penduduk Tahun 1961, sensus penduduk nasional pertama di masa kemerdekaan Indonesia BPS, 1961. Penduduk perkotaan Indonesia meningkat lebih dari lima kali lipat dalam empat puluh tahun menjadi 85,2 juta jiwa di akhir abad ke-20, dengan proporsi sekitar 41,9% dari seluruh total penduduk yang ada BPS, 20. Selanjutnya, hasil sensus penduduk terakhir di tahun 2010 memperlihatkan bahwa penduduk perkotaan Indonesia meningkat menjadi 118,32 juta jiwa dengan proporsi yang mencapai 49,8% dari penduduk totalnya. Hasil sensus terakhir ini mengkonfirmasi bahwa Indonesia telah memiliki lebih dari 100 juta jiwa penduduk perkotaan bersama beberapa negara lain, seperti China, India, Amerika Serikat, Brazil, Jepang dan Rusia. Jones dan Mulyana 2015 menyatakan bahwa proporsi penduduk perkotaan Indonesia mulai melampaui angka 50% untuk pertama kalinya sejak tahun 2012, sehingga sejak saat itu penduduk Indonesia mulai dapat diklasifikasikan sebagai masyarakat perkotaan. Selanjutnya, Survey Penduduk Antar-Sensus SUPAS tahun 2015 mengestimasi bahwa penduduk perkotaan Indonesia telah mencapai 135,61 juta jiwa, yang merepresentasi sekitar 55,2% penduduk totalnya. Namun, proses urbanisasi terjadi secara tidak merata. Hasil SUPAS tahun 2015 memperlihatkan bahwa Pulau Jawa, pulau besar terkecil yang hanya sekitar 7% dari seluruh daratan Indonesia menjadi rumah bagi sekitar 145,01 juta penduduk yang merepresentasi 56,8% penduduk Indonesia, Termasuk di dalamnya adalah 90,83 juta penduduk perkotaan, yang berarti sekitar 66,97% penduduk perkotaan Indonesia. Sementara itu, penduduk Sumatera hanya berjumlah 55,20 juta jiwa yang merupakan 21,6% penduduk Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah 22,85 juta penduduk perkotaan Sumatera, 16,85% dari penduduk perkotaan Indonesia, dan Kawasan Pulau-pulau lainnya berpenduduk 54,97 juta jiwa dengan 21,94 juta penduduk perkotaan. Pulau Jawa juga memiliki tingkat urbanisasi tertinggi, yaitu sebesar 62,63%, yang berarti bahwa 62,63% penduduknya terkategori sebagai penduduk perkotaan. Sementara itu, Kawasan Sumatera memiliki tingkat urbanisasi sebesar 41,39% dan Kawasan Pulau-pulau lainnya bervariasi dari 29,7% Papua hingga 44,8% Kalimantan. Artikel ini akan menganalisis perbedaan jenis, distribusi dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia, yang diklasifikasi ke dalam tiga buah kawasan makro sebagai bagian wilayah Indonesia, yaitu Kawasan Pulau Jawa, Pulau Sumatera dan Kawasan Pulau-pulau Lainnya. Di negara maju, studi seperti ini sangat penting dilakukan untuk memprediksi pertumbuhannya di masa datang Bosker dkk, 2008 ; Ioannides dan Rossi-Hansberg, 2005; Cohen, 2004; Eaton dan Eckstein, 1997. Sayangnya, penelitian seperti ini masih jarang dilakukan untuk kota-kota di negara berkembang Fan, 2013 ; Ye dan Xie, 2012, sehingga penelitian ini juga ditujukan untuk berkontribusi ke dalam penelitian sejenis di Negara berkembang, khususnya Indonesia. Studi ini menggunakan data tahun 2000 dan 2015, dimana F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 3 penggunaan tahun 2000 sebagai basis waktu analisis juga dilakukan dengan mempertimbangkan tahun tersebut merupakan tahun awal dilaksanakannya sistem desentralisasi wilayah yang baru di Indonesia, yang turut memberikan pengaruh kepada pembentukan dan perkembangan kota-kota di Indonesia. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metoda kuantitatif yang memanfaatkan teknik analisis deskriptif untuk menjelaskan fenomena berdasarkan data dan informasi pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di Indonesia, yang direpresentasi oleh pertumbuhan penduduk dari daerah-daerah kota yang ada di indonesia, kecuali Jakarta yang memiliki status sebagai provinsi daerah khusus ibukota. Variabel yang digunakan untuk mengukur perubahan ukuran kota-kotanya adalah jumlah penduduk yang tercatat dari hasil pencatatan Sensus Penduduk SP tahun 2000 dan Survey Penduduk Antar-Sensus SUPAS tahun 2015. Analisis yang dilakukan juga mempertimbangkan karakteristik dan sejarah pembangunan yang dimiliki wilayahnya, serta peran-peran yang dimilliki oleh kota-kota yang ada. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Umum Kota-kota di Indonesia Terdapat perkebangan jumlah kota daerah kota di Indonesia antara tahun 2000 hingga 2015. Jumlah daerah kota tersebut berkembang dari 63 kota di tahun 2000 menjadi 94 kota di tahun 2015. Berdasarkan catatan dari hasil sensus penduduk yang dilakukan, jumlah kota di Indonesia ini berkembang dari 47 kota di tahun 1961 menjadi 50 kota di tahun 1971 yang terus bertahan hingga tahun 1990. Selanjutnya jumlah tadi menjadi 64 kota di tahun 2000, yang bertambah menjadi 94 kota di tahun 2010 hingga saat ini. Dengan demikian pada antara tahun 2000 hingga 2015 terdapat pertambahan sebesar 30 buah kota daerah kota baru. Jumlah ini lebih besar daripada pertambahan sebelum tahun 2000 yang hanya sebanyak 17 kota baru. Kawasan Jawa merupakan kawasan yang paling banyak memiliki jumlah kota di masa awal observasi, yaitu 24 kota di tahun 2000. Namun, karena jumlah pertambahannya relatif kecil, yaitu hanya 6 enam buah daerah kota baru di Jawa pada tahun 2000 hingga 2015, maka jumlah kotanya di tahun 2015 menjadi lebih kecil daripada jumlah yang dimiliki oleh Kawasan Sumatera yang memiliki 34 buah kota, sebagai akibat dari pertambahan 12 kota baru pada periode 2000 hingga 2015. Sementara itu, Kawasan Pulau-pulau lainnya merupakan kawasan yang memiliki jumlah kota yang terkecil di masa awal, dengan hanya 18 kota di tahun 2000, namun kini memiliki jumlah kota yang sama dengan Kawasan Jawa, yaitu 30 buah kota, sebagai akibat dari pertambahan jumlah sebesar 12 kota baru selama periode antara tahun 2000 hingga 2015. Pertambahan jumlah kota tersebut diakibatkan oleh adanya pembentukan kota daerah-daerah kota baru. Pembentukan kota baru ini merupakan hasil dari proses administrasi dan politik, yang juga merupakan bagian dari proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia pasca reformasi Fitrani dkk, 2005. Oleh karena itu, proses penambahan kota jauh lebih banyak terjadi pada masa pasca tahun 2000, yang merupakan tahun awal mulai dilaksanakannya sistem baru dalam desentralisasi dan demokratisasi di Indonesia. Di masa era baru desentralisasi dan demokratisasi Indonesia, proses pembentukan daerah kota maupun kabupaten baru dikenal dengan sebutan “pemekaran daerah”, yang dalam bahasa Inggris bermakna leksikal sebagai “blossoming”. Anne Booth 2011 berpendapat bahwa penggunaan istilah tersebut malah menghilangkan makna yang sebenarnya dari proses pembentukan kota atau daerah baru ini. Oleh karena itu, Anne Booth 2011 cenderung lebih memilih istilah “splitting” pemisahan sebagai padanannya di dalam bahasa Inggris untuk terminologi pemekaran daerah ini, karena pada dasarnya pembentukan daerah baru baik kota maupun kabupaten di Indonesia memang merupakan suatu proses pemisahan daerah baru tersebut dari daerah induknya, yang juga sering disebut sebagai “kabupaten induk” karena biasanya daerah induknya berupa daerah kabupaten. 4 F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 Tabel 1. Perkembangan Kota-kota di Indonesia per Kawasan Makro, Tahun 2000 dan 2015 Populasi penduduk di Kota Terbesar Populasi penduduk di Kota Terkecil Jumlah kota berpenduduk > 1 juta jiwwa Jumlah kota berpenduduk 500 ribu - 1 juta jiwa Jumlah kota berpenduduk 300 - 500 ribu jiwa Jumlah kota berpenduduk 100 - 300 ribu jiwa Jumlah kota berpenduduk 1 juta jiwwa Jumlah kota berpenduduk 500 ribu - 1 juta jiwa Jumlah kota berpenduduk 300 - 500 ribu jiwa Jumlah kota berpenduduk 100 - 300 ribu jiwa Jumlah kota berpenduduk < 100 ribu jiwa Sumber Data diambil dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 dan SurveyPenduduk Antar-Sensus Tahun 2015. F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 95 Tabel 2. Perkembangan Sepuluh KotaTerbesar di Indonesia, Tahun 2000 dan 2015 Sumber Diolah dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 dan Survey Penduduk Antar-Sensus Tahun 2015. Catatan Óadalah tanda untuk kota yang berperan sebagai ibukota Negara. Òadalah tanda untuk kota yang berperan sebagai ibukota provinsi. Tabel 1 memperlihatkan lebih dari setengah kota di Indonesia merupakan kota-kota kecil dan menengah yang berpenduduk kurang dari 300 ribu jiwa untuk setiap kotanya. Jumlah kota pada ukuran ini meningkat dari 37 kota di tahun 2000, menjadi 55 kota di tahun 2015. Jumlah yang pertama terdiri dari 30 kota berukuran 100 – 300 ribu jiwa dan 7 kota berukuran kurang dari 100 ribu jiwa, sedangkan yang kedua terdiri dari 46 kota berukuran yang pertama dan 9 kota berukuran yang kedua. Pertambahan yang relatif besar pada jenis ukuran kota ini memperlihatkan bahwa jenis ukuran kota ini merupakan jenis ukuran kota yang paling dinamis di Indonesia, yang jumlahnya lebih mudah untuk bertambah daripada jenis ukuran-ukuran kota yang lainnya. Cohen 2006 berpendapat bahwa terutama di negara-negara berkembang, kota-kota berukuran kecil dan menengah merupakan kota-kota yang juga memiliki agenda yang besar mengingat beberapa sebab, seperti 1 memiliki jumlah penduduk akumulatif yang cukup/sangat besar; tetapi 2 biasanya memiliki sediaan fasilitas dan infrastruktur yang kurang memadai, dan 3 kapasitas kelembagaan pengelolaan pembangunan yang relatif lebih lemah. Untuk kota-kota besar, hingga tahun 2015 hanya terdapat 13 buah kota yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa, yang bertambah dari 10 kota di tahun 2000. Tabel 2 memperlihatkan sepuluh kota terbesar di Indonesia, yang didominasi oleh kota-kota yang memiliki peran dan fungsi politik dan administratif, sebagai ibukota negara atau ibukota provinsi. Fenomena ini sejalan dengan pendapat Soo 2005 yang mengatakan bahwa ukuran populasi kota-kota di negara-negara berkembang sangat dipengaruhi oleh faktor administrasi dan politik, sehingga biasanya kota-kota terbesar di setiap wilayah merupakan ibukota dari setiap wilayahnya juga lihat Ye dan Xie, 2012; Anderson dan Ge, 2005. Hal yang menarik yang dapat dilihat pada Tabel 2 adalah adanya kota-kota yang termasuk ke dalam sepuluh kota terbesar Indonesia yang bukan merupakan ibukota negara atau provinsi, yaitu Kota Bekasi, Tangerang dan Depok. Kota-kota ini merupakan daerah-daerah kota baru yang terbentuk dan berkembang di sekitar Kota Jakarta, kota pusat administrasi Negara ibukota Negara yang sekaligus pusat aktivitas ekonomi nasional. Kombinasi ini menghasilkan daya pembentuk dan pertumbuhan kota-kota baru di sekitar Jakarta, yang kemudian turut menjadi bagian dari kota-kota terbesar di Indonesia. Fenomena ini menarik, karena ketiga kota tersebut merupakan kota-kota baru Tangerang terbentuk di tahun 1993, Bekasi di tahun 1997 dan Depok di tahun 1999 yang langsung menjadi kota jutaan penduduk dan termasuk menjadi bagian dari kota-kota terbesar. 96 F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 Gambar 1. Perkembangan Kota-kota di Kawasan Jawa, Tahun 2000 dan 2015 Perkembangan Kota-kota di Kawasan Jawa Pulau Jawa merupakan kawasan yang berbeda bila dibandingkan dengan kawasan-kawasan lainnya di Indonesia dalam konteks pertumbuhan kota-kotanya. Setidaknya terdapat dua ciri utama yang membuatnya berbeda, yaitu 1 secara tradisional, Pulau Jawa merupakakan pulau yang memiliki jumlah dan kepadatan kota tertinggi di antara kawasan-kawasan lain di Indonesia, walaupun saat ini Jawa tidak dapat lagi dipandang sebagai kawasan yang memiliki jumlah kota terbanyak; dan 2 karena jenis ukuran kota yang berada di Pulau Jawa jauh lebih besar daripada jenis ukuran kota yang ada di kawasan-kawasan lainnya. Perbedaan karakter kota-kota di Jawa ini tidak terlepas dari karakteristik wilayah serta sejarah pembangunan di Pulau Jawa yang juga sangat mempengaruhi pola perkembangan kota di Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan kawasan pulau yang memiliki populasi penduduk yang terbesar sejak ratusan tahun lalu, apabila dibandingkan dengan pulau-pulau atau kawasan-kawasan lainnya di Indonesia. Hugo dkk 1987 memprediksi bahwa Jawa telah memiliki sekitar hingga 5000 jiwa F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 97 penduduk di awal tahun 1600an, yang berarti sekitar 30 – 50 % dari total penduduk yang bermukim di pulau-pulau Indonesia di masa itu. Jumlah ini terus meningkat hingga mencapai sekitar jiwa di awal abad ke-20, dan tercatat memiliki penduduk berdasarkan hasil sensus penduduk yang pertama yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di tahun 1920, dimana penduduk seluruh kawasan di Indonesia tercatat sebesar jiwa Hugo, dkk, 1987. Besarnya jumlah dan konsentrasi penduduk di Pulau Jawa tidak terlepas dari sejarah pembangunan infrastruktur wilayah Pulau Jawa yang jauh lebih maju daripada pulau-pulau lainnya di Indonesia. Infrastruktur wilayah pertama yang dibangun adalah jaringan jalan trans-Jawa, yang dibangun tahun 1808 hingga 1811 oleh Herman Willem Daendels, Gubernur Jendral Pemerintah Kolonial Belanda di masa itu Hugo dkk, 1987. Jalan trans-Jawa tersebut dikenal sebagai “de Grote Postweg van Java” atau Jalan Raya Pos di Jawa, yang menghubungkan seluruh kawasan-kawasan utama di Jawa dari Anyer di kawasan Barat hingga Panarukan di kawasan Timur Hugo dkk, 1987. Kelak jalan ini menjadi cilal bakal jaringan jalan regional utama di Pulau Jawa hingga saat ini. Sebagaimana kuda masih menjadi alat transportasi utama di waktu itu, pengembangan fungsi jalan pos pada jalan ini juga menghendaki pembangunan fasilitas pendukung transportasi wilayah, yang berupa pos-pos peristirahatan, perawatan dan pemeliharaan kuda pada jarak-jarak tertentu. Di sisi lain, pembangunan jaringan jalan ini membuka potensi yang dimiliki kawasan-kawasan pedalaman di Jawa untuk menerima kegiatan pembangunan ekonomi yang lebih terstruktur dalam bentuk pengembangan perkebunan-perkebunan. Kegiatan perkebunan berkembang di banyak tempat, dan menjadikan kawasan di sekitar pos-pos perawatan kuda juga berkembang sebagai tempat-tempat pasar dan transit yang pada masa berikutnya berkembang menjadi cikal bakal dari banyak kota di Pulau Jawa di saat ini. Pada masa berikutnya, perkembangan aktivitas perkebunan di Pulau Jawa, serta penemuan teknologi baru dalam bidang transportasi wilayah dalam bentuk kereta api di Eropa mendorong pembangunan jaringan infrastruktur wilayah ini di Pulau Jawa, sehingga Jawa merupakan kawasan pertama di Indonesia dan Asia Tenggara memiliki jaringan jalan rel dengan beroperasinya kereta pertama di Semarang pada tahun 1867 yang kemudian berhasil menghubungkan Semarang, Yogyakarta dan Surakarta di tahun 1873 Hugo dkk, 1987. Selanjutnya dibangun sistem serupa di Batavia Jakarta di masa kolonial di tahun 1869, yang memperkuat sistem transportasi bagi wilayah Batavia hingga Buitenzorg Bogor di masa kolonial. Sistem transportasi wilayah ini transportasi kereta berbasis rel juga dikembangkan dengan maksud untuk membawa produk perkebunan dari kawasan-kawawsan produksi ke pelabuhan-pelabuhan utama pada waktu itu, sehingga kawasan timur Pulau Jawa pun menerima pembangunan sistem jaringan rel kereta di Surabaya di tahun 1878 yang kemudian terhubung hingga Banyuwangi Hugo dkk, 1987. Selanjutnya, sistem transportasi wilayah ini berkembang dengan pesat, terutama setelah dilakukannya proses pengntegrasian sistem kereta api pada tahun 1880 hingga 1900 yang menghubungkan semua bagian rel kereta api Jawa dari barat ke timur dan sebaliknya, sehingga kemudian memberi kemungkinan bagi Batavia Jakarta, ibukota Koloni Hindia Belanda, untuk mulai menggantikan posisi Surabaya sebagai kota terbesar di Kawasan Jawa, sejak awal abad ke-20. Hugo dkk, 1987. Saat ini, Jawa menjadi tempat berkembangnya kota-kota utama di Indonesia, sebagaimana Jawa merupakan kawasan dari sebagian besar dari kota-kota terbesar Indonesia. Pada tahun 2015, delapan dari 13 kota jutaan penduduk Indonesia berlokasi di Jawa. Jumlah ini berkembang dari tujuh kota jutaan penduduk di tahun 2000 dari sepuluh kota jutaan penduduk Indonesia di tahun tersebut. Termasuk di dalam kota-kota besar utama ini adalah Jakarta, ibukota Negara yang terdiri dari lima buah kota administratif Jakarta Pusat, Utara, Timur, Barat dan Selatan, yang keseluruhannya berpenduduk 9,9 juta jiwa pada tahun 2015, tanpa penduduk Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu yang terletak di perairan Teluk Jakarta. Jakarta merupakan sebuah kota pelabuhan yang berkembang dari pelabuhan masa lampau, Sunda Kelapa yang berkembang sejak abad ke-empat. 98 F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 Tabel 3. Perkembangan Sepuluh KotaTerbesar di Kawasan Jawa, Tahun 2000 dan 2015 Sumber Diolah dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 dan Survey Penduduk Antar-Sensus Tahun 2015. Catatan Ó adalah tanda untuk kota yang berperan sebagai ibukota Negara. Ò adalah tanda untuk kota yang berperan sebagai ibukota provinsi. * adalah tanda untuk kota yang berlokasi di Kawasan Jakarta dan sekitarnya. 1 adalah tanda untuk kota yang berlokasi di Kawasan Surabaya dan sekitarnya. 2 adalah tanda untuk kota yang berlokasi di Kawasan Bandung dan sekitarnya. Beberapa kota besar utama di Pulau Jawa yang berkembang dari perannya sebagai kota pelabuhan masa lampau lain adalah Kota Surabaya dan Semarang. Surabaya merupakan kota pelabuhan utama Jawa hingga masa akhir abad ke 19 yang menjadi pelabuhan pengekspor hasil bumi dari Kawasan Jawa dan Kawasan Pulau-pulau lainnya di bagian timur Indonesia, sejak masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Peran ekonomi ini membuat Surabaya berkembang menjadi kota terbesar di Jawa hingga awal abad ke-20 Hugo dkk, 1987. Sedangkan Semarang merupakan kota pelabuhan yang diperkirakan terkaya pada peralihan abad ke-19 ke abad ke-20, berkat aktivitas perdagangan dan ekspor gula dari aktivitas industrinya yang berada di sepanjang pantai utara Jawa Tengah hingga ke selatan ke wilayah Surakarta dan Yogyakarta Hugo dkk, 1987. Pembangunan jaringan kereta api yang menghubungkan seluruh wilayah Jawa serta penetapan Jakarta sebagai kota pelabuhan ekspor utama sejak awal abad ke-20 di masa kolonial mendorong konsentrasi pertumbuhan bergeser ke Jakarta. Hugo dkk 1987 mencatat bahwa Kota Surabaya, yang masih menjadi kota dengan jumlah penduduk terbesar di Jawa dengan jumlah penduduk sebesar jiwa di tahun 1905 di masa penduduk Jakarta baru jiwa, mendapat konfirmasi dari hasil sensus pertama di tahun 1920 bahwa Surabaya telah menjadi kota terbesar kedua dengan penduduk sebesar jiwa dan Jakarta jiwa. Pengkonsentrasian penduduk di Jakarta ini terus berlanjut hingga setelah masa kemerdekaan, dan terutama sejak masa orde baru di akhir tahun 1960an hingga akhir 1990an, yang mendorong pertumbuhan yang melebar dengan pembengkakan Kota Jakarta sehingga sekarang menjadi sebuah aglomerasi kota raksasa megacity dan memiliki indeks primacy yang sangat tinggi karena berukuran lebih dari tiga kali lipat dari Metropolitan Surabaya, aglomerasi perkotaan kedua terbesar di Jawa dan di Indonesia. Hal menarik lain terjadi pada Bandung, kota yang secara tradisional menjadi kota terbesar ketiga di Jawa sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia. Sensus Penduduk terakhir di tahun 2010 masih mengkonfirmasi Bandung sebagai kota terbesar ketiga dengan jumlah penduduk sebesar jiwa dan Bekasi jiwa BPS, 2012, Namun selanjutnya, hasil SUPAS tahun 2015 mengindikasikan bahwa posisi Bandung sebagai kota terbesar ketiga dikoreksi oleh Kota Bekasi, sehingga posisinya turun menjadi yang keempat. F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 99 Fenomena lebih cepatnya pertumbuhan Bekasi daripada Bandung ini cukup menarik apabila dilihat dari lokasi kedua kota tersebut. Bekasi merupakan salah satu kota yang berlokasi di sekitar Kota Jakarta lihat Gambar 1 dan Tabel 3. Pesatnya pertumbuhan Kota Bekasi yang berlokasi di sekitar Kota Jakarta ini juga tampak pada beberapa kota utama lain lain yang berlokasi di sekitar Jakarta seperti Kota Depok dan Bogor. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3, Depok dan Bogor juga memiliki laju pertumbuhan cepat, yang lebih cepat dari kota lain yang berposisi di atasnya, sehingga pada tahun kedua kota ini mengambil posisi kota-kota yang berada di atasnya tersebut. Depok yang berada pada posisi ke-7 di tahun 2000 mengambil posisi ke-5 di tahun 2015 dengan menggantikan Kota Semarang dan Tangerang. Sedangkan Bogor, walaupun posisinya tetap berada pada posisi ke-9, baik di tahun 2000 dan tahun 2015, tetapi Bogor mengambil alih posisi Malang yang berada di atasnya di tahun 2000. Dalam konteks ini, fenomena pertumbuhan cepat dari Kota Jakarta dan kota-kota lain di sekitarnya seperti Bekasi, Depok, dan Bogor memperlihatkan tingginya konsentrasi pertumbuhan di Kawasan Jakarta dan sekitarnya. Fenomena pertumbuhan cepat ini ini juga diperlihatkan oleh fenomena terbentuknya Kota Tangerang Selatan, sebuah daerah kota baru di sebelah Barat-Selatan Jakarta yang baru dibentuk tahun 2008, dengan langsung berada pada daftar kota-kota utama dengan jutaan penduduk, dan berada pada daftar sepuluh besar kota di Pulau Jawa. Secara spasialnya, fenomena pertumbuhan cepat ini juga diiringi oleh proses perkembangan perkotaan yang melebar extended urban formation dari Kota Jakarta ke wilayah sekitarnya. Pertumbuhan penduduk dan aktivitas perkotaan di Kota Jakarta tidak dapat ditampung oleh wilayah Kota Jakarta secara sendirian, dan memerlukan kawasan lain di luar kota Jakarta, baik untuk penyediaan bagi kebutuhan aktivitas perumahan dan permukiman, maupun aktivitas lain seperti industri serta perdagangan dan jasa. Konsentrasi pertumbuhan cepat dan melebar seperti yang terjadi di Jakarta juga terjadi pada beberapa kawasan lain di Pulau Jawa, seperti di Kawasan Bandung dan Kawasan Surabaya. Kawasan Bandung juga membangun sebuah formasi perkembangan perkotaan melebar lihat Budiyantini dan Pratiwi, 2016, yang juga “melahirkan” sebuah daerah kota baru, yaitu Kota Cimahi di tahun 2001. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, kota ini berpenduduk jiwa. Kawasan Surabaya juga memperlihatkan fenomena spasial tersebut sejak tahun 1980an lihat Firman, 1992; dan Firman, 2016, walau tidak/belum melahirkan daerah-daerah kota baru di sekitarnya. Suatu hal yang menarik pada kasus perkembangan kawasan perkotaan di Pulau Jawa adalah bahwa proses dan pembentukan formasi perkotaan yang melebar ini tidak lagi hanya terjadi pada kota-kota yang berukuran besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung saja, tetapi juga telah terjadi pada beberapa kawasan perkotaan lain, termasuk yang berbasiskan pada kota-kota yang jauh lebih kecil. Fahmi dkk 2014 memperlihatkan pembentukan formasi perkotaan tersebut pada Kawasan Cirebon, Jawa Barat, dengan berbasiskan pada Kota Cirebon yang terkategori sebagai kota menengah dengan jumlah penduduk sebesar di tahun 2000 dan kemudian di tahun 2010. Rahayu dan Mardiansjah 2018 serta Mardiansjah dkk 2018 memperlihatkan bahwa fenomena perkembangan melebar ini juga terjadi di Kawasan Surakarta, Jawa Tengah, dengan berbasiskan pada Kota Surakarta yang terkategori sebagai kota menengah besar dengan jumlah penduduk sebesar di tahun 2000 dan kemudian di tahun 2010. Suatu hal yang membedakan antara konsentrasi pertumbuhan di kawasan-kawasan yang berbasis pada kota-kota yang kecil dengan konsentrasi pertumbuhan yang terjadi di kawasan kota-kota yang besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya adalah pada skala/ukuran dan intensitas laju pertumbuhan yang lebih kecil. Besar kemungkinan perbedaan ini juga dipengaruhi oleh perbedaan peran yang dimiliki oleh kota-kota intinya, dimana Jakarta memiliki peran dan fungsi sebagai ibukota negara, serta Bandung dan Surabaya sebagai ibukota provinsi, sementara kota-kota lain yang lebih kecil tidak memiliki peran seperti itu. 100 F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 Gambar 2. Perkembangan Kota-kota di Kawasan Sumatera, Tahun 2000 dan 2015 Sumber hasil analisis, 2019. Tabel 4. Perkembangan Sepuluh KotaTerbesar di Kawasan Sumatera, Tahun 2000 dan 2015 Sumber Diolah dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 dan Survey Penduduk Antar-Sensus Tahun 2015. Catatan Ò adalah tanda untuk kota yang berperan sebagai ibukota provinsi. * adalah tanda untuk kota yang berlokasi di Kepulauan. 1 adalah tanda untuk kota yang berlokasi di Kawasan Medan dan sekitarnya. Perkembangan di Kawasan Sumatera Pulau Sumatera merupakan kawasan makro kedua yang paling terurbanisasi di Indonesia setelah Jawa. Kawasan ini memiliki karakterstik urbanisasi yang berbeda dari Kawasan Jawa dan Kawasan Pulau-pulau lainnya, yang tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik wilayah yang dimiliki, tetapi juga dipengaruhi oleh sejarah pembangunan yang terjadi di dalamnya. Pulau ini adalah pulau terbesar keenam di dunia, yang menjadi pulau terbesar ketiga di Indonesia, dengan luas daratan sekitar tiga setengah kali Pulau F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 101 Jawa, Namun, kawasan ini hanya memiliki sekitar 40% dari penduduk Pulau Jawa, dengan jumlah penduduk perkotaan sekitar seperempat dari yang dimiliki Pulau Jawa. Kondisi ini membuat tingkat kepadatan penduduk serta kepadatan perkotaan yang jauh lebih rendah daripada yang terdapat di Jawa. Selain itu, berbeda dengan Kawasan Jawa yang telah memiliki jaringan transportasi wilayah yang terintegrasi sejak di awal abad ke-19 dengan pembangunan Jalan Raya Pos, pembangunan Jalan Lintas Sumatera baru dimulai sejak tahun 1965, ketika Presiden Soekarno mencanangkannya sebagai sebuah Pragram Strategis Nasional. Namun, baru setelah sepuluh tahun pelaksanaan masa pembangunannya, jaringan jalan regional ini berhasil mengintegrasikan sistem jaringan jalan di Pulau Sumatera dari utara ke selatan. Sebelumnya, jaringan jalan di Sumatera terpencar-pencar dan belum terintegrasi menjadi satu sistem yang terhubung karena pembangunannya dilakukan per wilayah serta banyaknya kerusakan di sana sini. Selain karena jarak antar kota pusat-pusat permukiman di Sumatera yang jauh lebiih besar daripada jaraknya di Jawa, beberapa hal yang menjadikan kesulitan di dalam pembangunan jaringan jalan regional di Sumatera ketika itu adalah luasnya wilayah dan kondisi morfologi wilayah yang jauh lebih ekstrim daripada yang ada di pulau Jawa. Berbeda dengan Pulau Jawa yang tidak memiliki rangkaian pegunungan yang tinggi dan panjang, Pulau Sumatera memiliki rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang sangat panjang serta lebih tinggi dan lebih curam dari yang ada di Pulau Jawa. Pegunungan ini membentang tak terputus di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera dari ujung utara hingga ke ujung selatan. Kondisi ini menyulitkan pengintegrasian jaringan jalan barat dan timurnya. Akibatnya, faktor morfologis dan ketersediaan infrastruktur daerah juga mempengaruhi jarak antar kota di Sumatera, sehingga lebih jauh dari di Jawa. Sebenarnya, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda juga telah membangun sistem rel kereta api di beberapa bagian, yaitu di pesisir timur Sumatera Utara dari Banda Aceh melalui Medan hingga ke Tanjung Balai dan Labuhan Batu; di pantai barat Sumatera Barat dari Padang melalui Bukit Tinggi, ke Solok dan Sawahlunto; serta di bagian selatan Sumatera dari Tanjung Karang Lampung ke Palembang dan Bukit Asam Sumatera Selatan. Tetapi, banyak bagian dari sistem kereta api yang rusak dan tidak aktif setelah era kemerdekaan. Hanya sejak tahun 2015, banyak bagian sistem ini mulai diperbaiki dan ditingkatkan dalam suatu Program Strategis Nasional bersama pembangunan jalan tol trans-Sumatera untuk memperkenalkan sistem kereta api dan infrastrktur transportasi wilayah yang terpadu di Sumatera di masa depan. Kota Medan dan Palembang merupakan dua buah kota yang terbesar di Sumatera sejak jaman dahulu. Medan, yag berlokasi di kawasan utara Pulau Sumatera lihat Gambar 2 dan Tabel 4, merupakan pusat dari Kerajaan Melayu Deli yang berdiri pada pertengahan abad ke-17. Kota ini berkembang berkat perdagangan lada yang menjadi salah satu komoditas penting di masa itu. Medan menjadi salah satu kota penting di luar Jawa setelah pemerintah Kolonial Hindia Belanda mendatangkan banyak penduduk dan membangun perkebunan di sekitar Medan pada akhir abad ke-18. Adapun Palembang, yag terletak di kawasan selatan Pulau Sumatera lihat Gambar 2 dan Tabel 4, dipercaya merupakan salah satu pusat aktivitas dari Kerajaan Sriwijaya, salah satu kerajaan kuno yang berkembang sejak abad ke-7 di Kawasan Sumatera. Hugo dkk 1987 mengatakan bahwa tidak banyak catatan yang ditemukan tentang jumlah penduduk kota-kota ini hingga akhir abad ke-18. Namun Hugo dkk 1987 memperkirakan bahwa Palembang berpenduduk sekitar di tahun 1905 sedangkan Medan baru memiliki beberapa ribu penduduk saja. Pengembangan perkebunan di sekitar Kota Medan sejak akhir abad ke-18 sangat mendorong pertumbuhan dan konsentrasi yang terjadi sehingga sensus penduduk tahun 1920 mencatat Medan memiliki penduduk dan kemudian menjadi jiwa penduduk berdasarkan sensus di tahun 1930, sedangkan Palembang berpenduduk jiwa di tahun 1920, dan di tahun 1930 Hugo dkk, 1987. Sejak masa kemerdekaan, Medan berkembang menjadi kota terbesar di Kawasan Sumatera, dan Palembang adalah yang berikutnya. Posisi ini terus bertahan hingga sekarang. Dinamika terjadi pada urutan yang berikutnya dimana hingga sensus 102 F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 penduduk 1980, Padang merupakan kota terbesar ketiga di Sumatera, yang menurut catatan sensus tahun 1990 posisinya kemudian tergantikan oleh Bandar Lampung yang sebelumnya berada satu peringkat di bawah Padang, hingga sekarang. Seperti yang diperlihatkan oleh Tabel 4, dinamika yang terjadi pada pada kota-kota terbesar di Sumatera di periode tahun 2000 hingga 2015 adalah pada kota-kota terbesar keempat dan seterusnya. Di tahun 2015, peringkat Kota Batam meningkat menjadi peringkat keempat, dengan mereposisi Padang dan Pekanbaru yang masing-masing turun satu peringkat ke bawahnya apabila dibandingkan dengan peringkatnya di tahun 2000. Batam adalah sebuah daerah kota baru dengan fungsi pusat pertumbuhan ekonomi. Kota ini dibangun oleh Pemerintah pusat Indonesia dari hanya sebuah kampung nelayan kecil di Pulau Batam, Kepulauan Riau, sejak awal tahun 1970an, dengan memanfaatkan konsentrasi dan pertumbuhan ekonomi Singapura yang berlokasi tidak jauh di seberangnya. Pemerintah Pusat Republik Indonesia merupakan inisiator utama pembangunan kota ini. Hingga Desember 1999, investasi yang ditanam pemerintah sebesar 1,63 milyar dollar AS, yang merepresentasi 23% dari seluruh total investasi yang dilakukan untuk membangun Batam sebagai sebuah kota pusat perekonomian baru. Peran swasta domestik sebesar 44%, dan swasta asing sebesar 33% BOB, 2000. Dengan dukungan kuat pemerintah pusat tersebut, Batam mampu tumbuh secara lebih tinggi daripada kota lainnya walaupun bukan merupakan kota dengan fungsi administrasi politik. Dinamika berikutnya adalah masuknya Kota Binjai ke dalam daftar sepuluh kota terbesar di Sumatera di tahun 2015, sehingga mendorong Banda Aceh, ibukota dari provinsi Aceh NAD di Sumatera, keluar dari daftar tersebut di tahun 2015. Binjai adalah kota yang terletak sekitar 20 km di sebelah barat Medan. Sangat menarik karena Binjai bukan lah sebuah kota dengan fungsi administrasi politik. Dengan demikian, masuknya Binjai menambah jumlah kota yang tak berfungsi administrasi politik di dalam daftar tersebut menjadi tiga buah kota, bersama Batam dan Pematang Siantar lihat Tabel 4, sehingga bisa dikatakan bahwa pertumbuhan kota-kota di Kawasan Sumatera mulai bergerak menuju pada kondisi dimana pertumbuhan kota-kotanya tidak lagi hanya dipengaruhi oleh faktor administrasi politik saja, melainkan juga turut dipengaruhi oleh faktor lain sebagai faktor utamanya seperti faktor perkembangan ekonomi kotanya. Salah satu hal lain yang menarik di dalam dinamika sepuluh kota terbesar di Sumatera ini adalah meningkatnya jumlah kota jutaan penduduk, dari hanya dua kota di tahun 2000 menjadi empat kota di tahun 2015. Walaupun Binjai, kota terkecil dalam daftar tersebut lihat Tabel 4, masih terkategori sebagai kota menengah kecil, peningkatan jumlah kota jutaan penduduk di Sumatera ini turut memperlihatkan dinamika pertumbuhan kota yang semakin tinggi di kawasan ini. Terlebih apabila diingat bahwa Binjai juga merupakan kota yang berlokasi dekat Medan sehingga dapat diperkirakan bahwa pertumbuhan yang terjadi pada Binjai juga turut dipengaruhi oleh pertumbuhan dari Kota Medan yang tumbuh dan berkembang sebagai kota inti dari Metropolitan Medan dan sekitarnya Mebidang, Medan-Binjai-Deli Serdang. Perkembangan di Kawasan Pulau-pulau Lain Kawasan Pulau-pulau Lain adalah kawasan makro yang memiliki tingkat urbanisasi yang paling rendah dari ketiga kawasan makro yang ada. Kawasan ini terdiri dari lima sub-kawasan yang terdiri dari tiga buah pulau besar dan dua buah kepulauan yang sangat luas, seperti yang bisa dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 5. Kelima sub-kawasan ini memiliki karakteristik yang sangat bervariasi. Tabel 5. Jumlah Kota di Kawasan Pulau-pulau Lain 5. Kepulauan Bali & Nusa Tenggara Sumber Hasil analisis, 2019 F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 103 Gambar 3. Perkembangan Kota-kota di Kawasan Pulau-pulau Lain, Tahun 2000 dan 2015 Sumber hasil analisis, 2019. Walau memiliki tiga pulau terbesar Indonesia di dalamnya, kawasan makro ketiga Indonesia ini terdiri dari banyak pulau besar dan kecil, dimana hampir seluruh wilayahnya memiliki karakteristik ketersediaan jaringan jalan regional yang relatif tertinggal dari kedua kawasan makro Indonesia sebelumnya. Bisa dibilang hanya Sub-Kawasan Pulau Sulawesi serta Bali dan Lombok yang telah memiliki ketersediaan jaringan jalan regional yang cukup baik. Sementara sub-sub kawasan lain di dalamnya belum memiliki ketersediaan jaringan jalan regional yang terintegrasi dan mampu menghubungkan setiap bagian kawasan kepada seluruh bagian kawasan seperti yang terdapat di 104 F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 Tabel 6. Perkembangan Sepuluh KotaTerbesar di Kawasan Pulau-pulau Lainnya, Tahun 2000 dan 2015 Sumber Diolah dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 dan Survey Penduduk Antar-Sensus Tahun 2015. Catatan Òadalah tanda untuk kota yang berperan sebagai ibukota provinsi. Jawa dan Sumatera. Kondisi ini berpengaruh kepada tingkat populasi penduduk beserta tingkat kepadatan penduduk rata-rata di kawasan ini menjadi sangat rendah. Sub Kawasan Papua dan termasuk Sub Kawasan Kalimantan merupakan bagian dari pulau-pulau besar Indonesia yang berjumlah serta kepadatan penduduk yang rendah, yang juga mempengaruhi tingkat pertumbuhan perkotaan yang ada di dalamnya. Papua, salah satu bagian utama dari kawasan ini, merupakan pulau terbesar di Indonesia, yang juga merupakan pulau terbesar kedua di dunia. Namun hanya sebagian dari wilayah pulau ini, yaitu seluas km2 atau sekitar 40,3% pada bagian baratnya yang merupakan wilayah Indonesia. Pulau ini juga memiliki karakteristik yang sangat bervariasi dari morfologi dataran pantai, kawasan rawa, hingga dataran tinggi maupun pegunungan tinggi yang memiliki lereng yang curam. Hingga kini, pulau ini juga belum memiliki sediaan jaringan jalan regional yang masif, sehingga pertumbuhan dan penduduknya yang tersebar di banyak tempat termasuk di kawasan pantai maupun di kawasan pegunungannya menjadi terbatas. SUPAS 2015 memperlihatkan jumlah penduduk Papua sebesar 4,01 juta jiwa dengan 1,19 juta penduduk perkotaan. Rendahnya jumlah penduduk di Papua membawa akibat sehingga Papua belum menjadi tempat yang subur bagi pertumbuhan kota besar walau pulau ini dikenal sebagai pulau yang kaya dengan kandungan mineral. Hingga tahun 2015, Papua hanya memiliki dua buah kota lihat Tabel 5, dan dari sepuluh kota terbesar di Kawasan Pulau-pulau Lainnya, Papua hanya menyumbang satu kota, yaitu Jayapura yang baru masuk ke dalam Daftar Sepuluh Kota Terbesar di Kawasan mulai tahun 2015 lihat Tabel 6. Berbeda dengan Papua, Pulau Kalimantan dan Sulawesi merupakan pulau-pulau yang hampir-hampir tak memiliki gunung sehingga tidak banyak memiliki dataran tinggi di dalamnya. Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga di dunia dengan luas sekitar km2, sedangkan Sulawesi merupakan yang kesebelas dengan luas km2. Sulawesi merupakan pulau yang memiliki lebih banyak penduduk dan juga penduduk perkotaan daripada Kalimantan. Namun, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6, Kalimantan memiliki jumlah kota yang lebih banyak daripada Sulawesi di dalam Daftar Sepuluh Kota Terbesar di Kawasan Pulau-pulau Lainnya, walaupun Sulawesi memiliki lebih banyak kota daripada Kalimantan lihat Tabel 5 dan kota terbesar di Sulawesi Makassar memiliki ukuran yang lebih besar daripada kota terbesar di Kalimantan Samarinda. Kalimantan memiliki empat buah kota, yaitu Samarinda, Pontianak, Banjarmasin, dan Balikpapan, sedangkan Sulawesi hanya memiliki dua buah kota, yaitu Makassar dan Menado pada daftar kota terbesar tersebut. Hal F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 105 yang menarik adalah bahwa terdapat salah satu kota terbesar di Kalimantan, yaitu Balikpapan yang bukan merupakan kota dengan fungsi administrasi politik, melainkan hanya sebagai sebuah kota tempat perkembangan aktivitas perekonomian yang berbasis kepada industri minyak. Hanya satu ibukota provinsi dari empat ibukota provinsi yang berada di Kalimantan, yaitu Palangkaraya ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, yang tidak termasuk ke dalam daftar sepuluh kota terbesar di Kawasan Pulau-pulau Lainnya di Indonesia di tahun 2015. Sedangkan untuk Sulawesi, hanya dua dari lima ibukota provinsi yang ada, yaitu Makassar dan Manado, yang masuk ke dalam daftar tersebut. Makassar, kota terbesar di kawasan ini lihat Tabel 6, adalah sebuah kota pelabuhan yang sudah berkembang sejak ratusan tahun lalu. Kota ini merupakan kota yang berperan sebagai kota pusat pertumbuhan dan pelayanan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia. Makassar terbentuk dari pusat Kerajaan Gowa di awal abad ke-16, yang berkembang menjadi kota pelabuhan berkat keberadaan para pedagang Melayu, Cina, Arab, Portugis, dan Belanda untuk memperdagangkan beras, rempah-rempah dan kayu dari dan ke Sulawesi, Maluku serta kawasan-kawasan lain di sekitarnya. Pada masa Indonesia merdeka, kota yang juga dikenal dengan nama Ujung Pandang di tahun 1971 hingga 1999 ini diarahkan menjadi salah satu dari empat kota pusat pertumbuhan utama di Indonesia bersama Jakarta, Surabaya dan Medan. Selain itu, Makassar juga berperan sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kota ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi administrasi politik yang dimiliki. Bali dan Nusa Tenggara serta Maluku adalah gugusan-gugusan kepulauan yang berukuran luas, dimana yang pertama berlokasi di sebelah timur Pulau Jawa yang memanjang ke arah timur hingga ke sebelah selatan Pulau Sulawesi, sedangkan yang kedua terletak tersebar di antara Pulau Sulawesi dan Papua. Kedua gugusan kepulauan ini juga memiliki beberapa pulau yang berukuran cukup besar, walaupun ukurannya jauh lebih kecil daripada kelima pulau besar yang membentuk Kepulauan Indonesia. Dari beberapa pulau yang cukup besar tersebut, Pulau Bali dan Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat merupakan pulau-pulau yang telah memiliki ketersediaan jaringan jalan regional yang cukup baik bila dibandingkan dengan pulau-pulau lain di kawasan ini. Bali merupakan pulau yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tertinggi di kawasan ini. Tingkat kepadatan penduduknya merupakan tingkat kepadatan yang tertinggi kedua di Indonesia setelah tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Namun tingkat kepadatan di pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara berada pada tingkat yang jauh lebih rendah. Dengan jumlah penduduk sebesar 14,1 juta jiwa di tahun 2015 dengan sekitar 6,0 juta jiwa di antaranya penduduk perkotaan, kawasan Bali dan Nusa Tenggara ini mampu mengantarkan seluruh ibukota provinsi yang ada di dalamnya tiga buah menjadi bagian dari sepuluh kota terbesar yang terdapat di Kawasan Pulau-pulau Lainnya ini. Sedangkan Sub-Kawasan Maluku adalah kawasan yang paling rendah tingkat populasi, dengan hanya sekitar 2,84 juta penduduk yang termasuk jiwa penduduk perkotaan yang tersebar ke dalam empat buah kota yang ada di sub-kawasan ini, yaitu Kota Ambon, Ternate, Tidore Kepulauan, dan Tual. Morfologi sub-kawasan yang terbangun dari beribu pulau kecil memberi hambatan tersendiri kepada pertumbuhan penduduk, dan termasuk konsentrasi perkotaan yang ada pada Sub-kawasan ini. Sensus Penduduk Tahun 2000 mencatat bahwa Kota Ambon, kota terbesar pada sub-kawasan ini yang juga menjadi ibukota Provinsi Maluku, hanya berpenduduk sebesar jiwa, yang menjadi jiwa berdasarkan Sensus Penduduk 2010, dan di tahun 2015, sehingga kota terbesar pada sub-kawasan ini tidak termasuk ke dalam Daftar Sepuluh Kota Terbesar di Kawasan Pulau-pulau Lainnya ini. Perbandingan Pertumbuhan Perkotaan Antar-Kawasan Makro Indonesia Berdasarkan pemahaman dan perbandingan terhadap urbanisasi dan pertumbuhan perkotaan di ketiga kawasan makro Indonesia, sangat menarik untuk dipahami bahwa proses urbanisasi dan pertumbuhan perkotaan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh setidaknya lima buah faktor utama yang saling terkait. Faktor utama pertama adalah 106 F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 keberadaan infrastruktur wilayah yang berupa pelabuhan utama wilayah, yang memberikan konektivitas wilayah kepada dunia dan kawasan-kawasan lain di luar. Faktor utama kedua adalah kondisi morfologi kawasan, yang meliputi kondisi besaran wilayah serta kondisi fisik dari bentang alam yang wujud di dalam kawasan. Faktor ketiga adalah sejarah pembangunan yang terjadi di dalam kawasan, terutama sejarah pembangunan jaringan jalan dan transportasi regionalnya, dan faktor keempat adalah faktor administrasi politik yang diemban oleh kota-kota yang ada, terutama kota-kota utamanya, sedangkan faktor kelima adalah faktor besaran masa penduduk yang terdapat pada kota-kota utamanya. Kawasan Jawa merupakan kawasan makro Indonesia yang paling baik di dalam konteks kelima faktor tersebut. Dengan beberapa pelabuhan utama Kepulauan Nusantara Indonesia dan kawasan kepulauan lain di Asia Tenggara di masa lampau, seperti Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta, Cirebon, Tegal, Semarang, Tuban, Rembang, Gresik dan Surabaya yang berada di pantai utaranya, Jawa telah memiliki interaksi yang cukup intens sejak masa lampau yang diperlihatkan oleh dinamika pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan besar di dalamnya, sebelum masa kedatangan bangsa-bangsa Eropa yang kemudian melakukan kolonisasi di Jawa dan Nusantara di pertengahan milenium kedua. Jawa juga memiliki kondisi kawasan yang berupa sebuah pulau besar dengan morfologi wilayah yang relatif datar, terutama di bagian utaranya, sehingga mampu memberi dorongan untuk terjadinya proses urbanisasi dan pertumbuhan konsentrasi perkotaan pada kawasan tersebut. Keunggulan kondisi morfologi ini kemudian ditunjang oleh sejarah pembangunan jaringan jalan dan transportasi regional di wilayahnya, yang telah terbentuk sejak awal abad ke-19 melalui pembangunan Jalan Raya Pos Trans-Jawa dan kemudian terwujudnya jaringan rel kereta yang terintegrasi di seluruh wilayah pada akhir abadnya. Keberadaan jaringan jalan dan transportasi regional ini mendorong terjadinya peningkatan produksi wilayah dan konektivitas serta inetraksi baik secara internal maupun eksternal, yang kemudian memungkinkan proses urbanisasi selanjutnya dan terjadinya peningkatan konsentrasi perkotaan pada kawasan-kawasan produksi pertanian dan perkebunan, serta kawasan-kawasan pelayanannya. Sejarah pembangunan wilayah yang terjadi di Jawa memperlihatkan bahwa proses peningkatan produksi tersebut juga memberikan kesempatan terjadinya lompatan teknologi transportasi, dari hanya jalan menjadi kombinasi antara jalan dan rel kereta yang menghubungkan seluruh wilayah, sehingga berdampak kepada peningkatan produktivitas dan daya saing wilayahnya. Selain itu, faktor administrasi politik memberikan kekuatan dari prioritas perhatian yang lebih baik, turut memberikan dukungan kepada urbanisasi dan pertumbuhan perkotaan serta kawasannya. Pengalaman Jakarta sejak bernama Batavia di masa kolonial yang dipilih menjadi pusat pemerintahan sejak masa kolonial VOC, dan terus semakin kuat di masa Hindia Belanda hingga masa kemerdekaan Indonesia memberi gambaran bahwa Batavia yang sebelumnya bukan kota terbesar di Jawa hingga awal abad ke-20, mampu melakukan reposisi sehingga menjadi yang kota terbesar pasca penguatan integrasi wilayah di Pulau Jawa melallui pengembangan konektivitas dan jaringan transprtasi regionalnya. Bahkan pada masa kemerdekaan, penunjukkan Jakarta sebagai ibukota Negara semakin menguatkan keunggulannya sehingga berpengaruh kepada perkembangan Jakarta menjadi kota jutaan penduduk terbesar hingga saat ini. Pengaruh faktor administrasi politik ini juga berpengaruh kepada pertumbuhan kota-kota lainnya di Jawa, sehingga hampir seluruh ibukota provinsi menjadi kota yang termasuk ke dalam Daftar Sepuluh Kota Terbesar di kawasan ini. Besaran massa penduduk, yang didukung oleh perbaikan teknologi transportasi dan komunikasi, pada gilirannya membawa pertumbuhan da perkembangan Jakarta yang melebar sejak tahun 1980an, yang memungkinkan kota ini mampu “melahirkan” kota-kota baru di sekitarnya. Proses serupa juga terjadi pada sub-sub-kawasan lain di Pulau Jawa baik yang berada di pesisir maupun di pedalaman, walau dalam tingkat dan besaran yang lebih rendah daripada yang terjadi di Jakarta. Besaran massa yang sangat di Jakarta mampu “melahirkan” kota-kota jutaan penduduk lain di sekitarnya, sedangkan pada Bandung, Semarang, Surabaya dan kota-kota utama lainnya di Pulau F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 107 Jawa seperti Surakarta, Yogyakarta dan Malang cukup memberikan dampak pembentukan kawasan-kawasan perkotaan di sekitarnya. Akumulasi dan kombinasi pengaruh dari kelima faktor utama tersebut membuat Pulau Jawa menjadi kawasan yang memiliki populasi yang sangat besar sehingga memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, tidak saja menjadi terpadat dari ketiga kawasan makro Indonesia tetapi juga membuatnya menjadi pulau besar terpadat di ini, selanjutnya membuat Jawa menjadi tempat yang subur bagi pertumbuhan perkotaan di Indonesia, sehingga sebagian besar kota-kota terbesar dan utama Indonesia berada di kawasan ini. Adapun Kawasan Sumatera, walaupun memiliki beberapa pelabuhan besar di masa lalu seperti Medan, Palembang, Sibolga, dan Padang, yang tidak hanya berada di salah satu sisi Pulau Sumatera, namun di kedua sisi utamanya barat dan timur, kawasan ini memiliki kendala luasnya wilayah serta kondisi morfologi yang ekstrim yang memanjang utara-selatan sehingga memisahkan kawasan barat dengan kawasan timurnya. Kondisi ini dipersulit oleh lambatnya pengembangan jaringan jalan dan transportasi regional yang mengintegrasikan seluruh sub-kawasan ke dalam sistem wilayah Sumatera yang terkoneksi satu sama lain. Walau jaringan jalan regional di Sumatera sudah terkoneksi sejak pertengahan tahun 1970an, kawasan ini belum memiliki jaringan jalan rel yang mampu menghubungkan seluruh bagian kawasan hingga saat iini. Kondisi ini turut memberi pengaruh kepada produktivitas ekonomi sehingga PDRB-nya belum bisa mencapai setengah dari PDRB Pulau Jawa, walau luas Pulau Sumatera hampir empat kali luas Jawa. Namun demikian, peran faktor administrasi politik juga mampu memberi pengaruh signifikan, sehingga hampir seluruh ibukota provinsi di Sumatera juga termasuk ke dalam Daftar Sepuluh Kota Terbesar di Kawasan Sumatera. Bahkan, penetapan Kota Medan dan Kota Palembang sebagai salah satu pusat pertumbuhan nasional pada masa orde baru juga memberi pengaruh kepada kedua kota tersebut sehingga keduanya bisa tetap terus berada di dalam Daftar Sepuluh Kota Terbesar di Indonesia. Selain itu, keputusan Pemerintah Pusat untuk membangun Batam di masa orde baru juga telah membawa perkembangan cepat pada kota ini, dari sebuah desa nelayan di awal tahun 1970an menjadi salah satu kota dengan lebih dari satu juta penduduk yang ada di Indonesia di tahun 2015. Kawasan Pulau-pulau Lainnya merupakan kawasan makro Indonesia yang memiliki tantangan terbesar dalam proses urbanisasi dan pertumbuhan perkotaan. Sangat luasnya kawasan yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil, yang sebagian besar masih dihadapkan kepada kendala konektivitas yang tidak sebaik kawasan-kawasan lainnya, dan belum banyak berkembangnya besaran massa penduduk perkotaan, membuat urbanisasi dan proses pertumbuhan perkotaannya cenderung lebih mengandalkan faktor politik administrasi sebagai kekuatan utamanya. Walaupun kawasan ini memiliki kandungan mineral dan kekayaan alam lain yang tinggi, namun proses urbanisasi dan pertumbuhan perkotaannya masih terhambat oleh belulm hadirnya beberapa faktor kunci, termasuk pelabuhan utama, jaringan jalan dan transportasi regional yang terintegrasi, dan besaran massa penduduk serta penduduk perkotaan di setiap bagian atau sub-kawasannya. Sub-kawasan Sulawesi dan Kalimantan merupakan sub-sub-kawasan yang paling prospektif untuk berkembang da menjadi tempat berlangsungnya proses urbanisasi dan pertumbuhan perkotaan di kawasan ini. Sub-Kawasan Sulawesi merupakan sub-kawasan yang memiliki jumlah kota yang terbanyak, dengan 11 kota di tahun 2015 yang meningkat dari enam buah kota di tahun 2000. Walaupun merupakan pulau terkecil dari tiga pulau terbesar di kawasan ini, Sulawesi merupakan kawasan yang paling terurbanisasi di Kawasan Pulau-pulau Lainnya ini. Selain ditunjukkan oleh banyaknya jumlah kota yang berlokasi di Sulawesi lihat Tabel 5, tingginya tingkat urbanisasi di pulau ini juga ditunjukkan oleh terdapatnya Makassar, kota jutaan penduduk yang juga menjadi kota terbesar di Kawasan Pulau-pulau Lainnya ini lihat Tabel 6. Papua yang merupakan daratan atau pulau terbesar di Indonesia merupakan sub-kawasan yang memiliki jumlah penduduk sehingga tingkat kepadatan penduduknya pun terendah di Indonnesia. Kondisi 108 F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 ini juga berpengaruh kepada proses urbanisasi dan pertumbuhan perkotaan yang ada di dalamnya, sehingga sub-kawasan ini juga memiliki jumlah kota yang terendah. Papua hanya memiliki dua buah kota hingga kini, yang berkembang dari hanya satu buah kota di tahun 2000. Namun, seperti yang diperlihatkan oleh Tabel 1, Kawasan Pulau-pulau lain merupakan kawasan yang memiliki pertambahan jumlah kota yang tertinggi pada periode antara tahun 2000 hingga 2015 lihat juga Tabel 5. Jenis kota yang paling banyak mengalami peningkatan adalah kota menengah kecil, yang berpenduduk antara 100 hingga 300 ribu jiwa per kotanya lihat Tabel 1. Sulawesi merupakan kawasan yang memiliki pertambahan terbanyak pada periode ini, dengan 5 kota baru, sedangkan Kalimantan memiliki pertambahan 4 kota baru, Maluku dua kota baru, dan Papua serta Bali dan Nusa Tenggara memiliki masing-masing satu buah kota baru. Rendahnya tingkat urbanisasi di Kawasan Pulau-pulau lainnya ini juga diperlihatkan oleh lebih sedikitnya jumlah kota jutaan penduduk yang terdapat di kawasan ini, apabila dibandingkan dengan jumlahnya di Kawasan Jawa maupun Kawasan Sumatera, walaupun ukuran kota terkecil di kawasan ini di tahun 2015, yaitu Kota Mataram di Nusa Tenggara lihat Tabel 6 berukuran lebih besar daripada kota terkecil di Kawasan Sumatera lihat Tabel 5. Hal yang menarik yang dapat dilihat pada kawasan ini adalah bahwa kawasan ini memiliki daftar urutan sepuluh kota terbesar yang lebih dinamis apabila dibandingkan dengan kawasan-kawasan lainnya. Kota yang tidak mengalami perubahan peringkat hanya lah Makassar, yang merupakan kota terbesar di kawasan ini baik untuk tahun 2000 maupun tahun 2015 lihat Tabel 6. Namun daftarnya untuk peringkat kedua hingga terakhir mengalami perubahan yang cukup bervariasi. Samarinda dan Pontianak, yang berada di posisi keempat dan kelima di tahun 2000 mereposisi Banjarmasin dan Denpasar di peringkat kedua dan ketiga, dan menggesernya ke posisi keempat dan kelima di tahun 2015. Kota Kupang di Nusa Tenggara mengalami peningkatan peringkat dari peringkat terakhir di tahun 2000 menjadi ke-delapan di tahun 2015, dengan Kota Mataram di peringkat kedelapan di tahun 2000 ke posisi kesepuluh di tahun 2015. Selain itu juga terdapat Kota Jayapura dari Papua yang baru masuk ke dalam daftar dan mendorong Kota Palu keluar. 4. KESIMPULAN Artikel ini telah memperlihatkan beberapa gambaran penting dari dinamika yang terjadi pada proses urbanisasi yang terjadi di Indonesia, melalui perkembangan kota-kota Indonesia, terutama kota-kota terbesar di setiap bagian wilayah di Indonesia beserta perubahan urutannya dari tahun 2000 ke tahun 2015. Perkembangan kota-kota di Indonesia ini tidak saja dipengaruhi kondisi wilayah setempat, melainkan juga dipengaruhi oleh dua hal lain, yaitu sejarah pembangunan infrastruktur dan wilayahnya, serta pengaturan dan pengelolaan kebijakan pemerintah yang berpengaruh, baik pemerintah Republik Indonesia maupun Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di masa sebelum kemerdekaan. Hingga kini, Kawasan Jawa masih menjadi tempat dimana sebagian besar dari kota-kota terbesar di Indonesia terkonsentrasi. Bahkan kawasan ini pun memiliki Kawasan Jabodetabek dan sekitarnya yang menjadi kawasan konsentrasi utama dari kota-kota terbesar Indonesia. Pengkonsentrasian Jakarta, sebagai pusat pemerintahan Negara yang sekaligus menjadi pusat aktivitas ekonomi, telah menghasilkan kekuatan pertumbuhan yang sangat besar sehingga tidak saja meningkatkan kekuatan pertumbuhan internalnya, tetapi juga menguatkan kekuatan pertumbuhan eksternalnya hingga mampu “melahirkan” kota-kota baru jutaan pendudk lain di sekitarnya sambil menghasilkan sebuah aglomerasi perkotaan raksasa. Dalam magnitudo yang jauh lebih kecil, kombinasi kekuatan pertumbuhan internal dan eksternal ini juga tampak pada beberapa kota lain di Jawa seperti Bandung dan Surabaya, dan juga di Medan, Sumatera utara, dimana kombinasi kekuatan-kekuatan yang dimilikinya tersebut juga mampu memberikan dorongan kepada pembentukan dan pertumbuhan kota lain yang ada di sekitarnya. Analisis dan pembelajaran ini mengarahkan kepada dua rekomendasi ke dalam proses pembangunan perkotaan di Indonesia. Pertama, besarnya F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 109 intensitas konsentrasi pertumbuhan kota di Jawa mendorong kebutuhan Indonesia untuk bisa membangun dan menghasilkan uoaya pemerataan pembangunan kota ke wilayah-wilayah lain, termasuk ke Kawasan Sumatera dan Kawasan Pulau-pulau lainnya. Pemerataan intensitas dan konsentrasi pertumbuhan kota yang lebih merata diharapkan akan memberikan dukungan kepada pemerataan pertumbuhan ekonomi wilayah nasional melalui pembangunan dan penguatan simpul-simpul utama wilayah di dalam jejaring pembangunan ekonomi nasional. Kedua, besarnya peranan faktor politik dan administrasi pemerintah ke dalam pertumbuhan perkotaan memperlihatkan adanya kebutuhan peningkatan dan pengembangan pengembangan perhatian pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dan lokal kota ke dalam peningkatan intensitas dan konsentrasi pertumbuhan kota di kawasan-kawasan di luar Jawa tersebut. Berkaca dari pengalaman pembangunan Kota Batam di Sumatera di masalalu, pemberian perhatian pemerintah ini diharapkan mampu meningkatkan akselerasi pertumbuhan kota-kota di luar Jawa tersebut sehingga berkembang lebih pesat. 5. DAFTAR PUSTAKA Anderson, G, dan Ge, Y. 2005. The size distribution of Chinese cities. Regional Science and Urban Economics, 35, 756– 776. BOB, 2000, Kawasan Industri dan Pariwisata Batam Data Pembangunan hingga Desember 1999, Batam Badan Otorita Batam. Baldwin, R dan Martin, P. 2003. Agglomeration and Regional Growth. Handbook of Regional and Urban Economics, 439602671-2711. DOI Booth, A. 2011. Splitting, splitting and splitting again A brief history of the development of regional government in Indonesia since independence, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 167 1, 31-59. Bosker, M. Brakman, S. Garretsen, H & Schramm, M. 2008. A century of shocks The evolution of the German city size distribution 1925–1999. Regional Science and Urban Economics, 38, 330–347. DOI BPS, 1962, Sensus Penduduk 1961, Jakarta Badan Pusat Statistik. BPS, 2012, Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010, Jakarta Badan Pusat Statistik. BPS, 2015, Penduduk Indonesia Hasil Survey Antar-Sensus 2015, Jakarta Badan Pusat Statistik. Cohen, B. 2004. Urban Growth in Developing Countries a review of current trends and a caution regarding exidting forcasts. World Development, 32 1 23-51. DOI Cohen, B. 2006. Urbanization in Developing Countries current trends, future projections, and key challenges for sustainability. Technology in Society, 28 63-80. DOI Cordoba, 2008. On the distribution of city sizes. Journal of Urban Economics, 63, 177–197. Eaton, J. dan Eckstein, Z. 1997. Cities and growth Theory and evidence from France and Japan. Regional Science and Urban Economics, 27, 443-474. Fan, 1999. The vertical and horizontal expansions of China's city system, Urban Geography, 20, 6, 493-515. DOI Fang, C. Pang, B. & Liu, H. 2017. Global city size hierarchy Spatial patterns, regional features, and implications for China. Habitat International, 66, 149-162. Fahmi, Hudalah, D. Rahayu, P. & Woltjer, J. 2014. Extended urbanization in small and medium-sized cities The case of Cirebon, Indonesia. Habitat International, 42, 1-10. Fitrani, F. Hofman, B. & Kaisera, K. 2005. Unity in Diversity? The creation of new local government in a decentralizing Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 41, 1, 57-79. Huang, Q. He, C, Gao, B, Yang, Y, Liu, Z. Zhao, Y. & Dou, Y. 2015. Detecting the 20 year city-size dynamics in China with a rank clock approach and DMSP/OLS nighttime data. Landscape and Urban Planning, 137, 138–148. Hugo, G. Hull, Hull, & Jones, 1987. The Demographic dimension in Indonesian 110 F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 development, Kuala Lumpur Oxford University Press. Ioannides, dan Rossi-Hansberg, E. 2005. Urban Growth. Kertas Kerja pada Departement of Economics, Tufts University, Medford. Jones, dan Mulyana, W. 2015. Urbanization in Indonesia UNFPA Indonesia Monograph Series No. 4, Jakarta UNFPA. Knox, dan McCarthy, 2014. Urbanization An Introduction to Urban Geography, Ed ke-3, Edinburg Pearson Education Limited Krakover, S. 1997. Testing the turning point hypothesis in city size distribution The Israeli situation re-examined. Urban Studies, 32, 12, 183-196. Mardiansjah, FH, Handayani, W & Setyono, JS 2018 Pertumbuhan Penduduk Perkotaan dan Perkembangan Pola Distribusinya pada Kawasan Metropolitan Surakarta. Jurnal Wilayah dan Lingkungan. 6 3 215-233 Mardiansjah, 2013. Urbanisation durable des territoires et politiques de développement urbain en Indonésie Étude de trois kabupaten en voie d’urbanisation rapide dans l’île de Java, Tesis Doktoral pada University of Paris-Est, Paris University of Paris-Est. Nas, P. dan Pratiwo. 2002. Java and de groote postweg, la grande route, the great mail road, Jalan Raya Pos. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, On the road The social impact of new roads in Southeast Asia, 158, 4, 707-725. Leiden, accessible downloaded from Pradoto, W. Mardiansjah, Manullang, & Putra, 2018. Urbanization and the Resulting Peripheralization in Solo Raya, Indonesia. IOP Conf. Ser. Earth Environ. Sci. 123 012047. DOI Rahayu, P. dan Mardiansjah, 2018. Characteristics of peri-urbanization of a secondary city a challenge in recent urban development. IOP Conf. Ser. Earth Environ. Sci. 126 012164 DOI doi Reed, 2002. On the rank size distribution for human settlements. Journal of Regional Science, 42, 1, 1-17. F H Mardiansjah, P Rahayu/ JPK Vol. 7 No. 1 2019 91 - 110 111 Resende, M. 2004. Gibrat's Law and the Growth of Cities in Brazil A Panel Data Investigation. Urban Studies, 41, 8, 1537-1549. Sato, Y dan Yamamoto, K. 2005. Population concentration, urbanization and demographic transition. Journal of Urban Economics. 58 45-61. DOI Soo, 2005. Zipf’s Law for cities a cross-country investigation. Regional Science and Urban Economics, 35, 239– 263. Ye, X. and Xie, Y. 2012 Re-examination of Zipf’s law and urban dynamicin China a regional approach. Ann Reg Sci, 49, 135–156. DOI ... Rapid urbanisation has become common in developing countries Zhang et al., 2011;Ishtiaque et al., 2017 including Indonesia. Rapid urbanisation in Indonesia notably occurs in large cities concentrated on the island of Java Mardiansjah & Rahayu, 2019. Urbanisation has led to changes in land use and increase in the built-up areas Guo et al., 2012;Morabito et al., 2016;Zheng et al., 2019. ...Following the development of built-up areas in Bandung predominantly for housing purposes, the land surface temperature LST in the region has increased significantly. In urban planning, particularly in housing, environmental aspects related to LST have yet to be widely considered. The aim of this study is to identify the relationship between housing densities and LST. The information regarding elevation, density, LST and tree cover vegetation coverage in housing areas in Bandung have been collected. Landsat 8 satellite images were used to assess LST levels and to calculate the normalised difference in vegetation index NDVI. Statistical analyses have been conducted to determine whether the NDVI and the housing density are factors that influence LST values. A correlation analysis demonstrates a strong inverse relationship between LST and NDVI while controlling for elevation of the housing area, with Pearson correlations of and Meanwhile, an ANOVA test showed that LST comparisons at each elevation were statistically significant p< it presents the idea that LSTs for high- density housing and medium-density housing have significant differences. The statistical test results indicate that the housing densities and the lack of urban tree cover contributes to LST. These findings are an invaluable source for spatial planning in housing areas and support sustainable development in Bandung city.... We speculate that this spatial cluster occurred due to the high incidence rate of diseases in these provinces. In addition, Java Island is a densely populated region and is well-known as the center of urbanization in Indonesia Mardiansjah and Rahayu, 2019. This condition is a potential possibility that affects this area to have a high case of health burden. ...There have been many studies associating various aspects of greenspaces with physical health. Very few of these investigations are available for developing countries such as Indonesia. Our study focused on evaluating the association between greenspace and the incidence rate of non-communicable diseases NCDs in terms of ischemic heart disease IHD, diabetes mellitus DM, rheumatoid arthritis RA, and chronic kidney disease CKD. Greenspace was presented by satellite-derived normalized difference vegetation index NDVI and forest-related green cover datasets to define exposures to the resolution of 250-m. The Institute for Health Metrics and Evaluation provided age and gender incident data of NCDs at the province level. A generalized additive mixed model coupled with sensitivity test was used to evaluate the exposure-outcome association. Stratified analyses were also employed. After adjusting for covariates, there was a significant negative association for incidence of NCDs and greenspace. We found that an interquartile unit increase of NDVI, and a percentage of forest were closely related to a decrease in the risk of NCDs by and respectively. Stratified by exposure level, a greater effect of greenspace on reducing NCDs risk occurred in high exposure areas. Considering the socioeconomic factors, greenspace could influence on reducing NCD risks in high urbanization, low-high poverty, and low-high literacy areas. An increment unit of greenspace was associated with a decreased risk of NCDs. This study underscores important health benefits associated with exposures to nature supporting efforts to preserve greenspaces in Indonesia.... Ruang terbuka publik terpopuler yang dimiliki kota Medan adalah Lapangan Merdeka. Selain sebagai ruang terbuka publik di pusat kota Medan, Lapangan Merdeka juga menjadi saksi rekam jejak sejarah perkembangan kota sejak jaman Kota Medan yang menjadikannya sebagai salah satu kota penting yang berada di luar Pulau JawaMardiansjah & Rahayu, 2019. Pada tahun 1942, masa pendudukan Jepang, nama Esplanade diubah menjadi Fukuraido dengan fungsi yang tidak jauh berbeda, hanya digunakan sebagai tempat untuk ...Friza Kinanti RambeAchmad Delianur NasutionImam Faisal PaneAtribut fisik merupakan salah satu elemen yang signifikan dalam pembangunan ruang terbuka publik, yang mana merupakan wujud pemenuhan kebutuhan masyarakat serta sebagai atraksi yang dapat menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk berkumpul di ruang terbuka. Keberadaan atribut fisik mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap ruang terbuka publik. Kesuksesan ruang terbuka publik sangat dipengaruhi oleh atribut fisiknya. Lapangan Merdeka merupakan salah satu ruang terbuka publik yang ada di pusat kota Medan yang telah mengalami perubahan fungsi ruang yang berdampak pada atribut fisiknya. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan persepsi masyarakat terhadap perubahan atribut fisik yang terjadi di Lapangan Merdeka. Penelitian ini dilakukan dengan cara metode campuran, dengan mengumpulkan data sekunder dan primer, dimana data primer yang dikumpulkan berupa wawancara mendalam, dan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan atribut fisik Lapangan Merdeka meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Meski demikian, keberadaan bangunan permanen perlu direncanakan ulang.... Efforts to maximize land use will be reflected in the intensification of efforts to utilize land use. Activities that are considered unproductive and profitable will always be quickly replaced by other activities that are more productive and profitable Mardiansjah and Rahayu, 2019. ...Nurhanifah NurhanifahThe number of urban residents continues to increase each year due to the mobility of the population from villages to cities urbanization. Aims this article to describe the development of urbanization in North Sumatra. Method of research is library research, data collection is carried out by taking from various sources such as BPS data, journals, documentation, and coupled with observational data then analyzed descriptively. This research found that the population development of North Sumatra North Sumatra is still concentrated in Medan City. Although its geographical area is only of North Sumatra's area, Medan is inhabited by 2,279,894 million people. The concentration of the population of North Sumatra in Medan is due to the ongoing urbanization or migration of people from villages to cities. The high number of urban residents can be a problem for the government, one of which is the emergence of the phenomenon of poverty, homelessness, and congestion. Often people who move to urban areas have big reasons and expectations such as wanting to get a job, high wages, prestige, and wanting to enjoy urban facilities. The conclusion is the development of the urban population in North Sumatra is in line with the rapid development of infrastructure, such as toll roads, and industries built by the government or the private sector continue to grow. The increasing level of urbanization shows the increasing number of people living in urban areas cities which causes the population to become denser in urban areas. The large number of people who urbanize in North Sumatra is due to economic and social factors. Keywords Urbanization, Mapping, Development, Nort Sumatra... Menurut ref. [2] pada tahun 2014 sebanyak 54% penduduk dunia tinggal di wilayah p-ISSN 2528-3561 e-ISSN perkotaan dan diproyeksikan akan menjadi 66% pada tahun 2050. Urbanisasi merupakan salah satu penyebab utama dari pertumbuhan penduduk yang tinggi di perkotaan [3]. ...Developments in the city of Palangka Raya y giving different temperature between urban and sub-urban. Phenomenon that cities have warmer temperatures than sub-urban and rural areas called Urban Heat Island UHI. This study aims to find out about the development of the UHI phenomenon in the city of Palangka Raya from 2000 to 2018 using remote sensing and geographical system. Based on the analysis of the TIR band landsat 7, in Kota Palangka Raya since 2000 has been UHI phenomenon, where high Land Surface Temperature LST was found dominantly in urban areas compared to sub-urban areas . In 2018, as Palangka Raya city had developed, based on the result of TIR band Landsat 8, the distribution of high LST not only found in the urban area, but in the sub-urban zone, especially at Menteng Urban Village and Panarung Urban Village. The development of UHI in Palangka Raya city over eighteen years 2000-2018 show in the sub-urban area experienced changes of UHIindex’s area more dynamic than the urban area. Urban development causing to conversion of vegetated land into impervious land, which greatly affects the energy balance. The increase in impervious areas causes more solar radiation that reaches the surfaces of the earth more absorbing and it is converted into sensible thermal energy which increases the surface housing is one of the rights of Indonesian citizens. Nevertheless, forced eviction is something familiar in Indonesia. One of the areas that experienced forced evictions was Kampung Akuarium. In April, the Provincial Government of DKI Jakarta evicted Kampung Akuarium settlement area residents. As a form of demonstration, they survived on the rubble from the evictions and built tents to carry out their activities in the Kampung Akuarium area. The DKI Jakarta Provincial Government began to rebuild the site into an adequate residential area called Kampung Susun Akuarium KSA as a solution for the residents. Based on the government’s solution, the study aims to determine whether the KSA meets the principles of sustainable housing. Sustainable housing promotes environmental preservation, social equality, and economic development to improve the residents’ quality of life. This study conducts a preliminary study to compile sustainable housing variables and indicators. The variables used in this research are community development, environment, social, and economy. Data analysis using Structural Equation Modeling was performed with SmartPLS software, based on the data collected, with an intensive study by distributing questionnaires to 102 residents. The findings indicate that KSA residents have performed most of the sustainable housing and community development indicators well and can still be improved by considering solutions related to poorly implemented indicators. This study’s results also emphasize that community development is a significant variable in building sustainable housing to be used in subsequent FilifinI Made AstraBudiaman BudiamanPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebutuhan ruang terbuka hijau yang diperlukan oleh Kota Jakarta. Penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif dan data-data sekunder. Metode perhitungan ruang terbuka hijau dilakukan melalui regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hasil dari penelitian ini kemudian menemukan bahwa ketersediaan ruang terbuka hijau Green Open Space yang terdapat di Jakarta 2748,81 Ha menurut Dinas Pertamanan DKI Jakarta. Sementara itu, luas Jakarta adalah 66394,18 Ha sehingga didapati ruang terbuka hijau hanya 4,1 % masih jauh dari harapan terpenuhnya kebutuhan ruang terbuka hijau yang dibutuhkan di Jakarta sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan. Sedangkan dengan parameter kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik DKI Jakarta Tahun 2020 bahwa penduduk Jakarta mencapai jiwa yang seharusnya memiliki luas ruang terbuka hijau Green Open Space sebesar Ha. Namun pada kenyataan yang terjadi pada saat ini di Kota DKI Jakarta keberadaan ruang terbuka hijau hanya 2748,81 Ha Risna Sari SariMohammad Agung RidloThe city is the center of various human activities. Various activities are growing quite rapidly, resulting in the emergence of new residential areas around the city center, including slums. The purpose of this study was to analyze the factors that influence the development of slums, especially in urban areas. The method used in this research uses qualitative research method by conducting analysis in solving problems. There are 6 case study areas in this study, namely in Medan City, Bukittinggi City, Tanah Kalikedinding Surabaya Village, Banjarmasin City, Kapasari SubDistrict Genteng Surabaya, and Surakarta City. Based on the results of the study showed that factors that influence the development of slums in urban areas include economic factors, socio-cultural factors, population density factors, building quality factors, population factors, land availability factors, facilities and infrastructure factors, accessibility, and government policy factors. The results of this research can be used as a reference in determining efforts to alleviate slums in an urban area. Keywords Identification, Causative Factors, Slum Settlement ABSTRAKKota merupakan pusat berbagai kegiatan manusia. Berbagai kegiatan tersebut berkembang dengan cukup pesat, sehingga menyebabkan munculnya kawasan permukiman baru di sekitar pusat kota tak terkecuali kawasan permukiman kumuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman kumuh, khususnya pada kawasan perkotaan. Metode yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan analisis dalam menyelesaikan permasalahan. Terdapat 6 Wilayah studi kasus dalam penelitian ini yaitu di Kota Medan, Kota Bukittinggi, Kelurahan Tanah Kalikedinding Surabaya, Kota Banjarmasin, Kelurahan Kapasari Kecamatan Genteng Kota Surabaya, dan Kota Surakarta. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman kumuh pada kawasan perkotaan diantaranya yaitu berupa faktor ekonomi, faktor sosial budaya, faktor kepadatan jumlah penduduk, faktor kualitas bangunan, faktor kependudukan, faktor ketersediaan lahan, faktor sarana dan prasarana, aksesibilitas, dan faktor kebijakan pemerintah. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan upaya guna pengentasan permukiman kumuh disuatu kawasan perkotaan. Kata Kunci Identifikasi, Faktor Penyebab, Permukiman KumuhAs the capital city of Indonesia, Jakarta has eight satellite cities as the supporting areas, namely Bogor Regency, Bogor City, Depok City, Tangerang City, Tangerang Regency, South Tangerang City, Bekasi City, and Bekasi Regency. The rapid urbanization in Jakarta is driving the growth of these areas. One of the impacts of urban growth is the land cover change that can be observed through multitemporal satellite imagery. This study analyses the land cover change within 20 years in urban and non-urban areas. The data used are Landsat satellite imagery and Indonesian base maps validated by ESRI World Imagery. In this study, satellite imagery is processed into predetermined classes. The analysis process by comparing land cover classes between 2001 and 2021 and calculating the area of each class in each regency/city. The results show that dense and evenly distributed urban growth occurs throughout the “City” area. Attention must be given to the government of Bekasi City, Tangerang City, South Tangerang City, and Depok City because the built area already exceeds 70% of the city Putu Adi Widiantara Ngakan Ketut Acwin DwijendraCeluk Village as an icon of the silver industry in Bali has experienced a significant development of spatial patterns. This is influenced by the geographical location of Celuk Village which is an area bordering the suburbs of the City of Denpasar. Because land reserves that can be occupied in the City of Denpasar are decreasing, this triggers physical development to spread towards the outskirts of the city, thus causing the phenomenon called urban sprawl. Due to the expansion of physical development, as well as changes in rural forms, it will certainly affect the form of settlements and changes in their urban patterns. This study uses a deductive-quantitative method through a case study approach. Geospatial data using satellite imagery from Google Earth is processed through ArcGIS software. The results showed that there were changes in traditional settlements due to the addition of new functions and population growth, as well as the presence of non-traditional buildings as a result of the expansion of the village area due to economic growth, diverse community backgrounds, and urban spatial has brought rapid changes and transformations in many aspects of urban processes of many developing countries, including in spatial aspect, in the form of extended spatial formation of the cities into the surroundings, in order to meet the needs of economic and productive processes as well as those of social and consumption processes. Using the case of the growth of Surakarta Metropolitan, this paper aims to deepen understanding on the spatial process of urban population growth in the peripheries of secondary metropolitan that based on medium city size in Java, which is considered as one of the most densest populated in the world. The article will show the process of metropolitanization in Surakarta Metropolitan, in which influenced of its limitness of the administrative jurisdiction of the core area, the the growth extends into the surrounding areas. The analysis employs a time serial analysis by utilizing the national censuses population data from 1990 to 2010, The result shows that the urbanization process in Surakarta leads into a extended spatial form which also characterized by a fragmented phenomena. The spatial urban formation formed by such a process consist of a combination of some extensions of the previous urban areas and the formation of new urban centers that approached and merged one to each other in the long run. This process need to be understood as urbanization process is also a major contributors that shape the resource allocation and consumption of resources in the metropolitan and the surrounding areas. For Indonesia, the understanding of these processes will be very beneficial for the formulation of regional collaboration strategies in developing sustainable urbanization in the Rahayu MardiansjahUrbanization process creates a tremendous spatial phenomenon since the last century. Especially for the country of the South, the phenomenon is still relevant to the situation today and the processes will still going until the foreseeable future. The metropolitan-based of urbanization process involves the development of peri-urban areas, which could be defined as transitional zones between city and rural areas characterized by integrated mixed-structures of agricultural and non-agricultural activities. This article reveals the characteristics of periurbanization process of an emerging secondary city in Java, which uses Surakarta, the second largest city in Central Java Province based on the population size, as the case. During the last ten years, there have been significant changes in peri-urban areas regarding urban population, land use, and urban activities that strengthening the contribution of the urban component into peri-urban urbanization in Solo Raya, a local term for Surakarta Metropolitan, amongst rapid regional based-urbanization in Indonesia, shows the unbalance pattern of growth. A number of Surakarta City's peripherals become the newly growing area which is characterized by a well-facilitated region, while the former urbanized areas next to the city center present the declining process. Different socioeconomic development triggers a unique mosaic of socio-spatial pattern, on which the phenomena of peripheralization could be investigated. Urban investment that boosted by the political will of both the national and local government has led to a shift in demographic condition. A relatively massive in-migration has been attracted to the peripheral and creates the new landscape of urban-rural society. Complex dynamic of metropolitan growth and the resulting peripheralization reminds that socio-spatial pattern calls the challenges for managing the rapid change of land use and space use. The pattern of urbanization that differs upon the surrounding areas of Surakarta City would be interesting to be explored. This paper will discuss the conceptual framework of peripheral urbanization and the methodological approach. It is actually the part of ongoing research on peripheralisation in Solo Raya. Anne BoothThe paper reviews the changes in the structure and role of provincial and sub-provincial governments in Indonesia since independence. Particular attention is paid to the process of splitting both provinces and districts kabupaten and kota into smaller units. The paper points out that this process has been going on since the 1950s, but has accelerated in the post-Soeharto era. The paper examines why the splitting of government units has occurred in some parts of the Outer Islands to a much greater extent than in Java, and also examines the implications of developments since 1999 for the capacity of local government units to deliver basic services such as health and FangBo Pang Haimeng LiuCity size hierarchy and distribution are always at the heart of urban studies, as they have a special ability to reveal the rules of city development and urban system spatial layouts. There is however a data deficiency with regard to city size hierarchy and distribution; in particular, an absence of complete statistics and spatial differences from the global perspective. To fill this research gap, this paper investigates global city size hierarchy based on 2014 data of more than 190 countries and regions by using classic models of “rank-size” rule, the fractal theory and the law of the primate city. We analyzed the spatial patterns, regional features, and implications for China from multi-scale and multi-dimension perspectives. The results show that 1 There is an obvious pyramid structure of global city size distribution, but differences exist among countries and regions with different economic development types, suggesting a feature of “various types with pyramid dominated”; 2 The primate feature of global city size distribution is not very obvious. However, the primacy ratios of developed countries are much higher than others, and significant differences exist among different regions; 3 The global Zipf exponent and Hausdorff dimension are and respectively. Cities with middle ranks are in the majority, and the monopoly power of large and super cities is effective to a certain extent, indicating a decreasing concentration tendency in the city size distribution and a convergence trend in terms of relative population size, especially with regard to the medium and small cities; 4 The medium and small cities develop swiftly with limited agglomeration effect of large cities, and Chinese cities would significantly influence global urban progress and spatial patterns. Therefore, developing 780–800 cities will be reasonable for China's urbanization efforts by have shown that, city size and rank follow a Pareto distribution across countries and over time. However, inconsistent definitions and measurements of city size urban population and urban area in census data in China have hindered the retrieval of comparable Pareto coefficients over time. Additionally, abrupt changes in size and rank at the city level are neglected in many studies. In this study, we extracted an alternative and consistently comparable measurement of city size from Defense Meteorological Satellite Program/Operational Line-scan System DMSP/OLS nighttime light images. Besides the traditional regression analysis at the national level, we also adopted the rank clock method to analyze city-size evolution at the city level. We found that 1 the distribution of urban areas became more even in China, with an increase of the Pareto's coefficient from in 1992 to in 2008; 2 the most obvious change in urban-area distribution at the national level occurred during the period from 2000 to 2003, which is consistent with turbulent rank changes at the city level; and 3 our combined method revealed another period from 1992 to 1995 with large rank fluctuations, which was masked by the relatively stable Pareto's coefficients extracted at the national level. The results demonstrate that the new DMSP/OLS nighttime light images and the combined method are useful for revealing city-size dynamics in a more consistent way from both national and city perspectives. The results enrich our understanding of city-size evolution and have valuable implications for relevant decision makers and urbanization in smaller cities is arguably not imperative, the future of urban living is no longer expected to be principally in mega-cities. People increasingly live in intermediate and smaller cities, in line with the proportion of people residing in urban areas, which is also gradually rising. Smaller cities in Indonesia, like other smaller cities in the developing world, are relatively densely populated, and many of them are experiencing extended urbanization, thereby exceeding their administrative boundaries. This paper seeks to explore the factors triggering urban development in these smaller cities, for a case in Indonesia. Urban change in Cirebon Region has accelerated in recent years, very much in line with the decentralization policy in Indonesia. This paper shows how urban change is influenced by economic restructuring, which encourages people to live closer to the core of the region, representing a new link between the core and new emerging urban areas in the region. This paper reveals these attributes to identify the characteristics of smaller urban centres, thereby contributing a more nuanced image of small cities in Cindy FanMost studies of the size, growth, and distribution of cities have been based on Western economies and have identified economic factors such as scale and agglomeration economies and level of economic development as major determinants of urban growth. It is unclear whether these generalizations are applicable in socialist economies. In this paper, I argue that institutional factors have played key roles in shaping China's city system, which is characterized by declining population concentration across cities and by tremendous vertical population growth of cities and horizontal addition of new cities expansions. The empirical analysis focuses on describing the size distribution of cities, estimating a multivariate model predicting the population growth of cities, and performing a logistic regression analysis of new and existing cities. The findings underscore the effects of urban and regional development policies, socialist institutions, changes in the urban administrative system, and state and local government interests, and suggest that they as a whole are more important than economic factors in explaining the attributes and changes of China's city system. Marcelo ResendeThe paper builds on the results of Clark and Stabler who associated Gibrat's law on the independence of growth rate and city size with unit root tests. The paper proposes a direct test of the unit root hypothesis for firm size based on recently developed panel data unit root tests. The results for a sample of Brazilian cities over the period 1980-2000 favour Gibrat's law. Moreover, the results are robust when one considers sub-samples defined for different population sizes and age of is the world's fifth most populous nation. Its population is still growing at 2 per cent per annum and will exceed 200 million in another 10 years' time. This is the first detailed analysis of population growth in Indonesia as it affects national development, written by 4 authors who have been intimately involved in population research and planning in Indonesia over the past 15 years. The book takes an historical approach in recognition of the continuities between problems of population growth and distribution in colonial times, and those faced today. Because of the remarkable diversity of Indonesia, a regional approach is also stressed, and regional differences are highlighted through the skilful use of maps.

Dinegaranegara berkembang perkembangan penduduk sangat pesat - khususnya di daerah perkotaan yang merupakan pusat dari kegiatan ekonomi. Tingginya perkembangan penduduk kota terutama disebabkan migrasi yang dilakukan oleh pendudukpedesaan. Urbanisasi merupakan salah satu aspek migrasi yang akan mempengaruhi pertambahan penduduk
Oleh Nur M Heriyanto dan Rozza Tri Kwatrina PERUBAHAN iklim sedang terjadi, dan isunya sangat lekat dengan wilayah perkotaan. Mengapa?Karena perkembangan kota seringkali diikuti oleh perkembangan teknologi, industri, peningkatan jumlah penduduk serta bertambahnya sarana transportasi. Baca juga Bagaimana Perubahan Iklim Bisa Memicu Tsunami Raksasa? Akibatnya, wilayah perkotaan menghasilkan tiga sumber emisi utama yaitu transportasi, pemukiman, dan industri. Gas pencemar polutan dari aktifitas manusia tersebut jelas berdampak negatif terhadap lingkungan terutama pencemaran udara. Gas rumah kaca GRK yang dilepaskan ke atmosfer sangat tinggi, sehingga Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi penurunan sebesar 29 persen tanpa syarat dengan usaha sendiri dan 41 persen bersyarat dengan dukungan internasional yang memadai pada tahun 2030. Di sektor kehutanan dan lahan, target penurunan emisi ini dituangkan dalam kebijakan Indonesia FOLU Net Sink 2030, melalui salah satu strategi utamanya yaitu Peningkatan Serapan Karbon sink. Untuk wilayah industri dan perkotaan, peningkatan serapan karbon melalui pembangunan Ruang Terbuka Hijau RTH menjadi pilihan yang banyak dilakukan. Ruang Terbuka Hijau menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Perannya sangat penting dalam menyangga biofiltering, mengendalikan biocontroling, dan memperbaiki bioengineering kualitas lingkungan hidup wilayah perkotaan. Vegetasi, melalui daun, akan menyerap dan menjerap polutan seperti nitrogen oksida NOx, sulfur oksida SOx, karbon monoksida CO, dan timbal Pb yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor, dan industri. Baca juga 5 Pertanyaan Paling Umum tentang Perubahan Iklim Dengan potensi jasa lingkungan seperti itu, tidak salah jika pemerintah di wilayah perkotaan dan industri menjadikan RTH sebagai salah satu kebijakan prioritas penataan tata ruang wilayah kota. Dalam Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa, setiap kota diwajibkan untuk mengalokasikan sedikitnya 30 persen dari ruang atau wilayahnya untuk RTH dalam rencana tata ruang wilayahnya, dimana 20 persen diperuntukkan bagi RTH publik dan 10 persen diperuntukkan bagi RTH privat pada lahan-lahan yang dimiliki oleh swasta atau masyarakat. Untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya misalnya, sudah ada Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur Jabodetabek-Punjur yang mengatur luas RTH minimal 30 persen dari keseluruhan kawasan. Mengalokasikan wilayah untuk RTH di wilayah perkotaan metropolitan seperti Jakarta dan sekitarnya tentunya bukan tantangan yang mudah. Namun upaya tersebut terus dilakukan termasuk di ruang-ruang privat seperti area industri atau area lainnya. Ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau. Untuk perusahaan besar, alokasi ruang yang diwajibkan adalah 20 persen. Beberapa perusahaan telah menunjukkan komitmennya, diantaranya RTH Toyota di Sunter Jakarta Utara seluas 2,7 Ha dari luas total luas pabrik 8 Ha, RTH Toyota Karawang 36 Ha dari luas total pabrik 100 Ha, dan RTH PT. Baca juga Inovasi Bioteknologi untuk Menekan Laju Perubahan Iklim Gajah Tunggal Tbk Tangerang 29,84 Ha 25,4 persen dari luas total kawasan pabrik 117,47 Ha. Serapan karbon ruang terbuka hijau WULANDARI PUTRI CHANIAGO Taman Suropati, salah satu ruang terbuka hijau di Jakarta Pusat. Sampai saat ini jenis tanaman yang digunakan dalam ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan masih tergantung pada beberapa jenis saja seperti angsana Pterocarpus indicus, tanjung Mimusops elengi, sawo kecik Manilkara kauki dan jabon Neolamarckia kecenderungan masyarakat kota yang senang bila memiliki pohon-pohon estetika mahal, seperti palem import yang memang berpenampilan indah walaupun tidak menyalahi aturan, sebenarnya tidak menyumbangkan banyak dalam upaya pengendalian lingkungan. Ada jenis tumbuhan lain yang juga berpotensi menyerap karbon di RTH, diantaranya kayu afrika Maesopsis eminii, khaya/mahoni afrika Khaya anthotheca, ampupu Eucalyptus deglupta, cemara norfok Araucaria heteroplylla, trembesi Samanea saman, bintaro Cerbera manghas dan ketapang Terminalia catappa. Pepohonan tersebut berpengaruh baik terhadap perubahan iklim mikro, tetapi sering kali kurang mendapat perhatian karena jasa ekosistemnya belum banyak dipahami atau tidak dikuantifikasi dengan baik. Padahal, serapan karbon tumbuhan dapat dihitung dari pengukuran biomassanya. Pertanyaannya, sebenarnya berapa besar kontribusi tanaman di RTH dalam menjerap karbon di wilayah industri dan perkotaan? Baca juga Melindungi Pohon Berusia Tua Bisa Kurangi Perubahan Iklim Hasil penelitian peneliti BRIN di beberapa wilayah industri di Jawa Barat mencatat kandungan karbon di beberapa RTH, seperti RTH Toyota Karawang memiliki kandungan karbon 3,67 ton C/Ha, RTH Toyota Jakarta sebesar 28,01 ton C/Ha, dan RTH Gajah Tunggal Tbk Tangerang sebesar 13,92 ton C/Ha. Ruang terbuka hijau upaya bersama untuk semua Mengelola RTH membutuhkan kontribusi bersama, tidak saja oleh pemerintah tapi juga semua entitas di wilayah perkotaan. Peran RTH perlu dioptimalkan, baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan menambah atau memperkaya vegetasi dan jenis tumbuhan yang ditanam di RTH. Jenis yang ditanam di beberapa RTH umumnya beragam dan berfungsi sebagai keindahan, naungan, memperbaiki iklim mikro, tumbuh cepat, penguat tanah dari longsor dan menyerap CO2. Pada umumnya tegakan dengan komposisi jenis yang beragam di suatu RTH akan lebih baik dibandingkan dengan jenis yang homogen. Jenis yang ditanam dapat dari tumbuhan jenis lokal ataupun eksotik dan tumbuh cepat atau sedang. Tumbuhan yang berbunga dan berbuah juga jadi pilihan dalam hubungannya dengan satwaliar terutama burung dan serangga yang menyukai bunga, buah, dan biji sebagai pakannya. Dan yang tidak kalah penting adalah tidak berbahaya bagi manusia, misal adanya serbuk sari yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia. Berbeda dengan intensifikasi, ekstensifikasi lebih pada upaya menambah jumlah dan luasan RTH. Dengan keterbatasan lahan di wilayah perkotaan, maka peran swasta sangat diharapkan untuk menanami lahan kosong dengan tanaman yang banyak menjerap emisi. Baca juga Perubahan Iklim Perburuk Penyebaran Penyakit Menular pada Manusia Alternatif lainnya adalah membuat serapan dengan metode seperti vertical garden, roof garden, balcony garden, atau corridor garden yang mulai banyak dibangun di perkotaan. Inti dari metode ini adalah mengoptimalkan ruang pada bangunan untuk ditanami tumbuhan yang berpotensi menjerap emisi. Semakin banyak ruang yang dapat dimanfaatkan, semakin tinggi manfaat yang diperoleh. Masyarakat juga dapat berperan di area pemukiman dengan metode planter box garden atau container garden yang tren beberapa tahun terakhir. Prinsipnya sama, yaitu mengoptimalkan ruang dan area untuk berkebun dan menanam tanaman hias, obat, dan pangan keluarga. Ini menjadi pilihan menarik yang makin banyak diminati orang di wilayah perkotaan. Di masa mendatang, peran dan manfaat Ruang Terbuka Hijau akan semakin strategis dalam mitigasi perubahan iklim. Jika setiap pemerintah daerah mengoptimalkan RTH di kota dan wilayah industri sebagai upaya Peningkatan Cadangan Karbon, maka target penurunan emisi sebagaimana Indonesia FOLU Net Sink 2030, akan lebih cepat tercapai. Tidak itu saja, perkembangan kota yang makin pesat akan sejalan dengan upaya menciptakan lingkungan yang sehat serta menurunkan tingkat emisi GRK yang menjadi komitmen bersama dan diwujudkan secara bersama. Baca juga Presiden Jokowi Perubahan Iklim Semakin Kritis dan Penting Diatasi Segera Nur M Heriyanto dan Rozza Tri KwatrinaPeneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, BRIN Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Faktorpeluang dengan tingkat pengaruh paling kuat ke lima adalah tumbuhnya ekonomi Global dengan rating 3.26 dan yang tgerakhir dengan rating 2.93 adalah adanya Misi Kabupaten Ende 2014-2019 Analisis Vol. 20 Tahun II Edisi September 2020 ~ 75 ~ ANALISIS POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA DI KABUPATEN ENDE - Yustina Paulina Penu Jakarta - Pertumbuhan penduduk merupakan perubahan jumlah penduduk, baik pertambahan maupun penurunannya. Pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh besarnya kelahiran birth, kematian death, migrasi masuk in migration, dan migrasi keluar out migration.Penduduk akan bertambah jumlahnya apabila terdapat bayi yang lahir dan penduduk yang datang. Penduduk akan berkurang jumlahnya apabila terdapat penduduk yang mati dan penduduk yang keluar wilayah tersebut, seperti dikutip dari buku Teori Kependudukan oleh Agustina penduduk di beberapa kota besar di Indonesia disebabkan oleh faktor pertumbuhan alami, dan faktor migrasi masuk ke wilayah kota dari pedesaan, seperti dikutip dari penelitian "Fenomena Urbanisasi dan Kebijakan Penyediaan Perumahan dan Pemukiman di Perkotaan di Indonesia" oleh Mita Noveria dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI. Pertumbuhan alami dihitung dari selisih kelahiran dan tersebut mendapati, di tingkat dunia, sepanjang kurun waktu 2005-2010, faktor meningkatnya pertumbuhan penduduk kota adalah pertumbuhan penduduk alami. Pertumbuhanini terlihat dari laju pertumbuhan penduduk kota dunia, yaitu sebesar 2 persen per tahun. Kecenderungan yang sama ditemu di negara maju dengan laju pertumbuhan penduduk kota sebesar 0,5 persen per itu, di negara berkembang dan negara paling kurang berkembang, penyebab utama pertumbuhan penduduk kota adalah faktor migrasi masuk wilayah perkotaan, termasuk perpindahan dari desa ke kota. Laju pertumbuhan penduduk di kota-kota di negara berkembang secara keseluruhan adalah 2,5 persen, sementara pertumbuhan penduduk di negara paling kurang berkembang sebesar 4 persen per penduduk di kota-kota besar di Indonesia juga disebabkan oleh faktor migrasi ke kota besar dari daerah perkotaan yang lain. Contohnya, migran yang tinggal di Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya berasal dari kota-kota lebih kecil yang berlokasi di sekitarnya. Selain di keempat kota tersebut, perpindahan penduduk dari desa ke kota masih menjadi penyebab dominan pertumbuhan penduduk di kota-kota di penduduk ke kota besar dipengaruhi faktor ekonomi. Perbedaan tingkat pendapatan di wilayah kota besar dengan daerah lainnya menyebabkan penduduk pindah ke kota besar. Pekerjaan kasar pun dianggap dapat memberikan penghasilan yang lebih baik dibandingkan dengan penghasilan di desa. Kesempatan kerja terutama di sektor informal yang terbuka luas menjadi penyebab arus migrasi dari desa ke samping faktor ekonomi, faktor perpindahan penduduk yang memengaruhi pertumbuhan penduduk di kota besar yaitu faktor sarana dan fasilitas sosial yang lebih berkualitas. Sarana dan fasilitas sosial ini termasuk pendukung pendidikan, seperti instansi pendidikan, akses internet, perpustakaan, hunian penunjang pendidikan, dan lain-lain. Karena itu, penduduk usia muda yang pindah ke kota untuk menempuh pendidikan lebih tinggi menjadi salah satu kelompok penyumbang pertumbuhan penduduk di kota besar di detikers, sudah tahu ya faktor pertumbuhan penduduk di kota besar di Indonesia? Simak Video "Jumlah Penduduk Usia Muda Mengecil, Wapres Saya Anjurkan Tak Tunda Nikah" [GambasVideo 20detik] lus/lus Md8Bupy.
  • u3qwzg3eoe.pages.dev/284
  • u3qwzg3eoe.pages.dev/452
  • u3qwzg3eoe.pages.dev/494
  • u3qwzg3eoe.pages.dev/426
  • u3qwzg3eoe.pages.dev/344
  • u3qwzg3eoe.pages.dev/345
  • u3qwzg3eoe.pages.dev/186
  • u3qwzg3eoe.pages.dev/248
  • pertambahan penduduk dan perkembangan industri di wilayah perkotaan